Jumat, 17 Januari 2014

MEKANISME PEMUNGUTAN PAJAK PENGAMBILAN DAN PEMANFAATAN AIR PERMUKAAN PADA CABANG PELAYANAN DISPENDA KOTA DEPOK I

PROPOSAL SKRIPSI
Diajukan guna melengkapi syarat – syarat untuk mencapai
gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Akuntansi jenjang Strata Satu
Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma

Nama                             :    May Puspita Sari                                                       NPM                             :    29210044                                                             Kelas                             :    4EB10                                  Jurusan/Jenjang                :    Akuntansi/S1

FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA
JAKARTA

2013




BAB I

PENDAHULUAN
1.1       Latar Belakang
Cabang Pelayanan  DISPENDA Kota Depok I adalah Unit Pelaksana yang dibawahi oleh Dinas Pendapatan Daerah Jawa Barat yang bertugas memimpin dan mengkoordinir seluruh usaha dibidang pungutan dan pendapatan daerah berdasarkan ketentuan - ketentuan, baik yang digariskan oleh Pemerintah Pusat maupun yang digariskan Pemerintah Provinsi.
Salah satu komponen pajak yang berpengaruh dalam pendapatan daerah adalah pajak pengambilan dan pemanfaatan air permukaan. Pajak ini dikenakan kepada perusahaan/ badan- badan lain yang menggunakan, mengambil dan memanfaatkan air sebagai fasilitas pendukung berjalannya perusahaan.
Cabang Pelayanan Pajak Daerah khususnya Pajak Pengambilan dan pemanfaatan Air Permukaan bekerja sama dengan Balai Pendayagunaan Sumber Daya Air yang bertujuan untuk mengetahui Harga Dasar Air sebagai Dasar Penetapan Nilai Perolehan Air Permukaan melalui praktek lapangan atau terjun langsung ke perusahaan seperti PDAM yang meliputi wilayah kota Depok 1, sehingga pihak Cabang Pelayanan DISPENDA tersebut dapat melakukan mekanisme dan teknis pemungutan pajak pengambilan dan pemanfaatan air permukaan kepada wajib pajak di sekitar wilayah kota Depok I.
            Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk memilih Cabang Pelayanan DISPENDA Kota Depok I  sebagai tempat penulis melakukan riset dengan judul laporan mengenai: “MEKANISME PEMUNGUTAN PAJAK PENGAMBILAN DAN PEMANFAATAN AIR PERMUKAAN PADA CABANG PELAYANAN DISPENDA KOTA DEPOK I.”


1.2       Rumusan Masalah
  1. Bagaimana mekanisme pemungutan pajak pengambilan dan  pemanfaatan Air Permukaan  pada Cabang Pelayanan DISPENDA Kota Depok I Masa Pajak Oktober 2012?
  2. Bagaimana Teknis Pemungutan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air     
    Permukaan pada Cabang Pelayanan DISPENDA Kota Depok I Masa Pajak Oktober 2012?
  3. Apakah dalam Mekanisme Pemungutan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Permukaan telah sesuai dengan Pergub No 17 Tahun 2001 tentang Tupoksi  Unit dan UPPD di lingkungan DISPENDA yang berkaitan dengan SOP  tersebut?
1.3       Tujuan Penelitian
  1. Untuk mengetahui mekanisme pemungutan pajak pengambilan dan pemanfaatan  air permukaan pada Cabang Pelayanan DISPENDA Kota DepokI Masa Pajak  Oktober 2012.
  2. Untuk mengetahui teknis pemungutan pajak pengambilan dan pemanfaatan air permukaan pada Cabang Pelayanan DISPENDA Kota Depok I Masa Pajak Oktober 2012.
  3. Untuk mengetahui apakah mekanisme pemungutan pajak pengambilan dan
    pemanfaatan air permukaan sesuai dengan Pergub No.17 Tahun 2011.


BAB II
LANDASAN TEORI

2.1       Kerangka Teori
2.1.1.   Definisi Pajak
Pengertian Pajak menurut Undang-undang No. 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir No. 28 Tahun 2007 Pasal 1 ayat 1 tentang Ketentuan Umum Perpajakan yang dimaksud pajak adalah:
 “Pajak  adalah kontribusi Wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesarnya-besarnya kemakmuran.”
Pengertian pajak menurut Rochmat Soemitro (Hilarius Abut,2001:1)
            “Pajak adalah  iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa-jasa timbal (kontra-prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.
Sedangkan pengertian pajak menurut Smeets (Erly Suandy,2011:9)
            “Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan, tanpa ada kalanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual; maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah”.
2.1.2.   Fungsi Pajak
Fungsi pajak menurut Abdul Rahman  (2010:21)  ada 4, yaitu:
1.      Fungsi anggaran (budgeter)
Sebagai sumber pendapatan Negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran  Negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin Negara dan melaksanakan pembangunan    Negara membutuhkan biaya.  Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya.
2.      Fungsi Mengatur (regulerend)
Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan pajak. Dengan  fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak.
3.      Fungsi stabilitas
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan.  Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.
4.      Fungsi redistribusi pendapatan
Pajak yang sudah dipungut oleh Negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiyai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyrakat.
2.1.3.   Syarat Pemungutan Pajak
Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat.
Menurut Mardiasmo (2011:2), sebagai berikut:
1.      Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan)
Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan undang-undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum  dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedang adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak.
2.      Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (syarat yuridis).
Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal  ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik Negara maupun warganya.
3.      Tidak mengganggu perekonomian (syarat ekonomis)
Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbukan kelesuan perekonomian rakyat.
4.      Pemungutan pajak harus efisien (syarat finansiil)
Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannnya.
5.      Sistem pemungutan pajak harus sederhana
Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajibaan perpajakannya.
2.1.4.   Sistem Pemungutan Pajak
Menurut Sumyar (2004:97) ada 3 macam sistem pemungutan pajak yaitu:



1)      Official  Assessment System
Suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah   (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
Ciri-cirinya:
a)      Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus (fiskus aktif);
b)      Wajib Pajak bersifat pasif;
c)      Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.
2)      Self Assessment System
Suatu sistem  pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib
            Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.
Ciri-cirinya:
a)      Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri (wajib pajak yang aktif);
b)      Wajib Pajak aktif, mulai menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang;
c)      Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi (fiskus aktif).
3)      With Holding System
Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak
            ketiga (bukan fiksus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk
            menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
Contoh pihak ketiga yang dimaksud dalam system ini misalnya: konsulen pajak, akuntan publik, wajib pungut atau wajib potong dan sebagainya.
2.1.5.   Asas Pemungutan Pajak
 Dalam buku An Inquliry the Nature and Causes of The Wealth of Nations
            
yang ditulis oleh Adam Smith pada abad ke-18 mengajarkan tentang asas-
             asas pemungutan pajak yang dikenal dengan nama four connons atau the
             four maxims dengan uraian berikut: (Erly Suandi, 2011:25)
  1. Equity
Pembebanan pajak antara subjek pajak hendaknya seimbang dengan
            kemampuannya, yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya di
            bawah perlindungan pemerintah.
  1. Certainty
Pajak yang dibayar oleh Wajib Pajak harus jelas dan tidak mengenal
            kompromi kompromis (not arbitrary)
  1. Convenience of Payment
Pajak hendaknya dipungut  pada saat yang paling baik bagi Wajib Pajak,
             yaitu saat sedekat-dekatnya dengan saat diterimanya   
            penghasilan/keuntungan yang dikenakan pajak.
  1. Economic of collections
Pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat (seefisien) mungkin,
            jangan sampai biaya pemungutan pajak lebih besar dari penerimaan pajak
            itu sendiri.
2.1.6.   Pengelompokan Pajak
pengelompokkan pajak Menurut Erly Suandy (2011:36) terdiri dari:
1)      Berdasarkan golongannya pajak dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a.       Pajak langsung
Pajak langsung adalah pajak yang bebannya harus ditanggung sendiri oleh
            Wajib Pajak yang bersangkutan dan tidak dapat dialihkan kepada pihak
            lain. Misalnya Pajak Penghasilan.
Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap penghasilan,   
            dapat dikenakan secara berkala dan berulang-ulang dalam jangka waktu
            tertentu baik masa pajak maupun tahun pajak.
b.      Pajak tidak langsung
Pajak tidak langsung adalah pajak yang bebannya dapat dialihkan atau
           digeserkan kepada pihak lain sehingga sering disebut pajak tidak langsung.
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Dalam pajak ini beban pajak digeserkan dari produsen/penjual ke pembeli/konsumen, karena pergeseran ini searah dengan arus barang yaitu dari produsen ke konsumen maka pergeserannya disebut pergeseran ke depan (forward shifting). Di samping itu, ada juga yang disebut dengan pergeseran ke belakang (backward shifting) yaitu pergeseran pajak yang berlawanan dengan arus barang.
2)      Berdasarkan wewenang pemungutannya pajak dapat dibagi menjadi dua yaitu:
a.       Pajak pusat/pajak Negara adalah  pajak yang wewenang pemungutannya ada pada pemerintah pusat yang pelaksanaannya dilakukan oleh Departemen Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak. Pajak pusat diatur dalam undang-undang dan hasilnya akan masuk ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pajak pusat/Negara yang berlaku saat ini adalah sebagai berikut:
  1. Pajak Penghasilan diatur dalam undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991, Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 dan terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008;
  2. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994, selanjutnya  Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 dan terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009;
  3. Pajak Bumi dan Bangunan diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994;
  4. Bea Materai diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985;
  5. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 sebagaimana yang telah diubah  dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000
b.      Pajak daerah adalah pajak yang wewenang pemungutannya ada pada Pemerintah  Daerah yang pelaksanaannya dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah. Pajak Pusat diatur dalam Undang-undang dan hasilnya akan masuk ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pajak Daerah diatur dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, terdiri atas  5 jenis pajak daerah provinsi dan 11 pajak daerah kabupaten/kota adalah sebagai berikut:
Pajak Daerah Provinsi, adalah sebagai berikut:
a)      Pajak Kendaraan Bermotor;
b)      Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
c)      Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
d)     Pajak Air Permukaan;
e)      Pajak Rokok.
f)       Pajak Daerah Kabupaten/Kota, adalah sebagai berikut:
g)      Pajak Hotel;
h)      Pajak Restoran;
i)        Pajak Hiburan;
j)        Pajak Reklame;
k)      Pajak Penerangan Jalan;
l)        Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
m)    Pajak Parkir;
n)      Pajak Air Tanah;
o)      Pajak Sarang Burung Walet;
p)      Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan
q)      Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
2.1.7.   Asas Pengenaan Pajak
Menurut Sri Pudiyatmoko (2009:43) ada 3 asas dalam pengenaan pajak yaitu:
  1. Asas Negara Tempat Tinggal
Asas ini sering disebut asas domisili. Asas Negara tempat tinggal ini
             mengandung arti bahwa Negara tempat tinggal seseorang  bertempat
            tinggal, tanpa memandang kewarganegaraannya, mempunyai hak yang tak
            terbatas untuk mengenakan pajak terhadap orang-orang itu atas semua
            pendapatan itu diperoleh.
  1. Asas Negara Asal (Negara sumber)
Asas Negara sumber mendasarkan pemajakan pada tempat di mana
            sumber itu berada, seperti adanya suatu perusahaan, kekayaan atau tempat
            kegiatan di suatu Negara. Negara di mana sumber itu berada mempunyai
            wewenang untuk mengenakan pajak atas hasil yang keluar dari sumber itu.
  1. Asas Kebangsaan
Asas ini mendasarkan pengenaan pajak seseorang pada status
            kewarganegaraannya. Jadi pemajakan dilakukan oleh Negara asal wajib
             pajak. Yang dikenakan pajak ialah semua orang yang mempunyai
            kewarganegaraan Negara tersebut, tanpa memandang tempat tinggalnya.
2.1.8.   Pemeriksaan Pajak
Pemeriksaan pajak menurut Tunggul Anshari Setia Negara (2006:86) yaitu:
“Serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, dan mengolah data dan atau keterangan lain dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan ketentuan peruaturan perundang-undangan perpajakan”
 Tujuan lain pemeriksaan menurut Erly Suandy (2011:208) adalah melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, yang dapat dilakukan antara lain dalam hal:
1)      Surat Pemberitahuan (SPT) menunjukkan kelebihan pembayaran pajak dan/ atau rugi;
2)      Surat Pemberitahuan (SPT) tidak disampaikan atau disampaikan tidak tepat waktu yang tealh ditetapkan;
3)      Surat Pemberitahuan (SPT) memenuhi kriteria yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
2.2       Pajak Daerah
2.2.1.   Pengertian Pajak Daerah
Pajak daerah Menurut Undang-undang No. 28 Tahun 2009 Pasal 10 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, adalah:
“Pajak Daerah adalah  kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau  badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Sedangkan pajak daerah menurut Erly Suandy (2011:229)
“Pajak Daerah adalah  iuran yang wajib dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah”.
2.2.2. Tarif Pajak Daerah
      Tarif Pajak Daerah berdasarkan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah yang dikutip oleh Marihot P Sihaan (2011:87):
1)      Tarif Pajak Kendaraan Bermotor
a.       Untuk kepemilikan Kendaraan Bermotor pertama paling rendah sebesar 1% (satu persen) dan paling tinggi sebesar 2% (dua persen).
b.      Untuk kepemilikan Kendaraan Bermotor kedua dan seterusnya tarif dapat ditetapkan secara progresif paling rendah sebesar 2% (dua persen) dan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
c.       Tarif pajak Kendaraan bermotor angkutan umum, ambulans, pemadam kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, Pemerintah/TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, dan Kendaraan lain yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah, ditetapkan paling rendah sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dan paling tinggi sebesar 1% (satu persen).
d.      Tarif Pajak Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar ditetapkan paling rendah sebesar 0,1% (nol koma satu persen) dan paling tinggi sebesar 0,2% (nol koma dua persen).
2)      Tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ditetapkan paling tinggi
masing-masing sebagai berikut:
a.       Penyerahan pertama sebesar 20% (dua puluh persen)
b.      Penyerahan kedua dan seterusnya sebesar 1% (satu persen).
3)      Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor ditetapkan paling tinggi
sebesar 10% (sepuluh persen).
4)      Tarif Pajak Air Permukaan ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh
persen).
5)      Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai
rokok.
6)      Tarif Pajak Hotel ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
7)      Tarif Pajak Restoran ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
8)      Tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 35% (tiga puluh lima              persen). Khusus untuk Hiburan berupa pagelaran busana, kontes             kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti              pijat, dan mandi uap/spa, tarif Pajak Hiburan dapat ditetapkan paling                     tinggi sebesar 75% (tujuh puluh lima persen). Khusus Hiburan kesenian             rakyat/tradisional dikenakan tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi               sebesar 10% (sepuluh persen).
9)      Tarif Pajak Reklame ditetapkan paling tinggi sebesar 25% (dua puluh lima             persen).
10)  Tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi sebesar 10%             (sepuluh persen)
11)  Tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan ditetapkan paling tinggi             sebesar 25% (dua puluh lima persen).
12)  Tarif Pajak Parkir ditetapkan paling tinggi sebesar 30% (tiga puluh             persen).
13)  Tarif Pajak Air Tanah ditetapkan paling tinggi sebesar 20% (dua puluh             persen).
14)  Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan paling tinggi sebesar 10%             (sepuluh persen).
15)  Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan             paling tinggi sebesar 0,3% (nol koma tiga persen)
16)  Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan paling             tinggi sebesar 5% (lima persen).
2.2.3. Ciri-ciri Pajak Daerah
Menurut Azhari (2005:49), ciri-ciri Pajak Daerah adalah:
1)      Pajak daerah dapat berasal dari pajak asli daerah maupun pajak Negara             yang diserahkan kepada daerah sebagai pajak daerah;
2)      Pajak daerah dipungut oleh daerah terbatas di dalam wilayah administratif             yang dikuasainya;
3)      Hasil pungutan pajak daerah dipergunakan untuk membiayai urusan rumah             tangga daeerah atau untuk membiayai pengeluaran daerah sebagai badan              hukum;
4)      Pajak daerah dipungut oleh daerah berdasarkan kekuatan Peraturan Daerah             (Perda), maka sifat pemungutan pajak daerah dapat dipaksakan kepada             masyarakat yang wajib membayar dalam lingkungan kekuasaannya.
2.2.4. Dasar Pengenaan Pajak Daerah
Menurut Marihot Pahala Siahaan (2011:90), dasar pengenaan Pajak daerah adalah sebagai berikut:
Pajak Provinsi:
1)      Pajak Kendaraan Bermotor dikenakan atas hasil perkalian dari dua unsur             pokok nilai jual kendaraan bermotor dan bobot yang mencerminkan secara  relative tingkat kerusakan jalan dan atau pencemaran lingkungan akibat  penggunaan kendaraan bermotor;
2)      Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dikenakan atas nilai jual kendaraan             bermotor;
3)      Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dikenakan atas nilai jual bahan             bakar kendaraan bermotor sebelum dikenakan Pajak Pertambahan Nilai;
4)      Pajak Air Permukaan dikenakan atas nilai perolehan air;
5)      Pajak Rokok dikenakan atas cukai yang ditetapkan oleh pemerintah               terhadap rokok
Pajak Kabupaten/Kota:
1)      Pajak Hotel dikenakan atas jumlah pembayaran atau yang seharusnya               dibayar oleh hotel;
2)      Pajak Restoran dikenakan atas jumlah pembayaran yang seharusnya         diterima restoran;
3)      Pajak Hiburan dikenakan atas jumlah uang yang diterima atau yang             seharusnya diterima oleh penyelenggara hiburan;
4)      Pajak Reklame dikenakan atas nilai sewa reklame;
5)      Pajak Penerangan Jalan dikenakan atas nilai jual tenag listrik;
6)      Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan nilai jual hasil pengambilan             mineral logam dan batuan;
7)      Pajak Parkir dikenakan atas jumlah pembayaran atau yang seharusnya             dibayar kepada penyelenggara tempat parkir;
8)      Pajak Air Tanah dikenakan atas nilai perolehan air tanah;
9)      Pajak Sarang Burung Walet dikenakan atas nilai jual sarang burung walet;
10)   Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan            dikenakan atas nilai jual objek pajak (NJOP);
11)   Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dikenakan atas nilai            perolehan objek pajak (NPOP).
2.2.5.   Penerbitan SKPD
Penerbitan SKPD menurut Marihot P Siahaan (2011:105) yaitu, berdasarkan SPTPD yang disampaikan oleh wajib pajak, kepala daerah akan melakukan pemeriksaan dan mengeluarkan penetapan pajak untuk menentukan apakah kewajiban pajak yang terutang telah dilakukan sebagaimana mestinya. Pasal 9 Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 mengatur tentang ketentuan tentang Penerbitan Surat Ketetapan Pajak terhadap wajib pajak, baik yang membayar pajak dengan penetapan sendiri (self assessement) maupun berdasarkan ketetapn kepala daerah. Dalam jangka waktu lima tahun sesudah saat terutangnya pajak, kepala daerah dapat menerbitkan:
a)      Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB);
b)      Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan (SKPDKBT);
c)      Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil (SKPDN).
Khusus untuk SKPDKB dan SKPDKBT diterbitkan apabila ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penammbahan jumlah pajak yang terutang. SKPDN diterbitkan apabila jumlah pajak tidak terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
2.2.6.   Pembayaran Pajak Daerah
Pembayaran pajak daerah menurut Darwin (2010:157), merupakan suatu tindakan untuk melunasi hutang pajaknya. Pembayaran pajak daerah dapat dilakukan oleh wajib pajak daerah segera setelah memperoleh Surat Pemberitahuan Pajak Daerah dengan mengacu kepada self assessment system. Pembayaran dan penyetoran pajak daerah yang terutang adalah paling lama 30 hari setelah saat terutangnya pajak atau berdasarkan peraturan daerah.
2.3.      Pajak Air Permukaan
2.3.1.   Pengertian Pajak Air Permukaan
Pajak Air Permukaan adalah pajak atas pengambilan dan atau pemanfaatan air permukaan. Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah, tidak termasuk air laut, baik yang berada di laut maupun di darat. Pajak Air Permukaan semula bernama Pajak Pengambilan Permanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan (PPPABTAP) berdasarkan Undang-Undang nomor 34 Tahun 2000. Hanya saja berdasarkan Undang-Undang nomor 28 Tahun 2009, PPPABTAP dipecah menjadi dua jenis pajak, yaitu Pajak Air Permukaan dan Pajak Air Bawah Tanah; dimana Pajak Air Permukaan dimasukkan sebagai pajak provinsi sedangkan Pajak Air Bawah Tanah menjadi pajak kabupaten/kota.
Pengenaan Pajak Air Permukaan tidak mutlak ada pada seluruh daerah provinsi yang ada di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah provinsi untuk mengenakan atau tidak mengenakan suatu jenis pajak provinsi. Karena itu untuk dapat dipungut pada suatu daerah provinsi, maka pemerintah daerah harus terlebih dahulu menerbitkan Peraturan Daerah tentang Pajak Air Permukaan yang akan menjadi landasan hukum operasional dalam teknis pelaksanaan pengenaan dan pemungutan Pajak Air Permukaan di daerah provinsi yang bersangkutan.
Untuk mencegah kevakuman hukum dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 pada tanggal 1 Januari 2010, pemungutan Pajak Air Permukaan pada suatu provinsi masih dapat dilakukan meneruskan pemungutan PPPBATAP yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 pasal 180 ayat 1 yang menyatakan bahwa peraturan daerah tentang pajak daerah mengenai jenis pajak provinsi masih tetap berlaku untuk jangka waktu dua tahun sebelum  diberkakukannya peraturan daerah yang baru berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009. Hanya saja dalam dua tahun sejak dberlakukannyaUndang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 diharapkan pemerintah provinsi yang ingin memungut Pajak Air Permukaan harus telah menetapkan peraturan daerah tentang Pajak Air Permukaan sebagai dasar hukum pemungutan Pajak Air Permukaan pada provinsi tersebut. 
2.3.2.   Objek Pajak Air Permukaan
 Objek Pajak Air Permukaaan adalah pengambilan dan atau pemanfaatan air permukaan. Pengambilan dan atau pemanfaata air permukaan adalah pengambilan dan atau pemanfaatan air permukaan yang digunakan oleh orang pribadi atau badan untuk berbagai macam keperluan, antara lain konsumsi perusahaan, perkantoran, dan rumah tangga.   
2.3.3.   Bukan Objek Pajak Air Permukaan
Bukan objek Pajak Air Permukaan  menurut Peraturan Daerah  Jawa Barat Nomor 13 Tahun 2011 Pasal 51 ayat 2 tentang Pajak Daerah, yaitu:
1)      Pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan untuk keperluan dasar             rumah tangga
2)      Pengambilan dan/atau pemanfataan  air untuk kepentingan pengairan             pertanian dan perikanan rakyat
3)      Pengambilan dan/atau pemanfaatan pemanfaatan air permukaan oleh             pemerintah dan Pemerintah Daerah
4)      Pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan untuk keperluan              peribadatan, penanggulangan bahaya kebakaran, penelitian serta              penyelidikan yang tidak menimbulkan kerusakan atas sumber air dan             lingkungannya atau bangunan pengairan beserta tanah turutannya.
2.3.4.   Subjek Pajak dan Wajib Pajak Air Permukaan
Subjek Pajak Air Permukaan menurut  Peraturan Daerah  Jawa Barat Nomor 13 Tahun 2011 Pasal 52 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, adalah orang pribadi atau Badan yang  dapat melakukan pengambilan dan/atau air permukaan.
Pajak Air Permukaan  menurut Marihot Pahala Siahaan (2011:473),
2.3.5.   Dasar Pengenaan Pajak Air Permukaan
Dasar pengenaan Pajak Air  Permukaan  menurut  Peraturan Daerah  Jawa Barat Nomor 13 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Pasal 53 sebagai berikut:
1)      Dasar Pengenaan Pajak Air Permukaan adalah Nilai Perolehan Air                  Permukaan.
2)      Perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      dinyatakan dalam rupiah yang dihitung dengan mempertimbangkan
            sebagian atau seluruh faktor-faktor berikut :
a.       Jenis sumber air permukaan
b.      Lokasi sumber air permukaan
c.       Tujuan pengambilan dan pemanfaatan air permukaan
d.      Volume air permukaan yang diambil dan dimanfaatkan
e.       Kualitas air permukaan
f.       Luas areal tempat pengambilan dan pemanfaatan air permukaan
g.      Musim pengambilan dan pemanfaatan air permukaan
h.      Tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan pemanfaatan air permukaan
3)      Penghitungan Nilai Perolehan Air (NPA) dilakukan oleh Dinas Teknis
4)      Tata cara penghitungan Nilai Perolehan Air Permukaan sebagaimana             dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
2.3.6.   Tarif Pajak Air Permukaan
            Tarif Pajak Air Permukaan  menurut  Undang-undang No. 28 Tahun 2009 Pasal 24 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (tiga puluh persen).
            Berdasarkan Perda Jawa Barat tentang Pajak Daerah, tarif Pajak Air Permukaan sebesar 10%.
2.3.7.   Perhitungan Pajak Air Permukaan
Cara untuk menghitung pajak Air Permukaan menurut Marihot P Siahaan (2011:475), adalah:
Pajak Terutang   = Tarif Pajak  x  Dasar Pengenaan Pajak
                             = Tarif Pajak x Nilai Perolehan Air Permukaan



2.3.8.   Penghapusan atau Pengurangan Sanksi Administrasi
Menurut Marihot Pahala (2011:484), atas permohonan wajib pajak atau karena jabatannya, bupati/walikota dapat membetulkan SKPD, SKPDKB, SKPKBT atau  STPD, SKPDN atau SKPDLB yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan atau kesalahan hitung dan atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan daerah. Selain itu bupati/walikota dapat: 
1)      Mengurangkan atau menghapuskan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan kenaikan pajak yang terutang menurut peraturan perundang-  undangan perpajakan daerah, dalam hal ini sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan wajib pajak atau bukan karena kesalahannya;
2)      Mengurangakan atau membatalkan SKPD, SKPDKB, SKPDKBT atau, STPD, SKPDN atau SKPDLB yang tidak benar;
3)      Mengurangkan atau membatalkan STPD;
4)      Membatalkan hasil pemeriksaan atau ketetapan pajak yang dilaksanakan atau diterbitkan tidak sesuai dengan tata cara yang ditentukan;
5)      Mengurangkan ketetapan pajak terutang berdasarkan pertimbangan      kemampuan membayar wajib pajak atau kondisi tertentu objek pajak.
2.4       Keberatan dan Banding
            Menurut Azhari (2004:136), Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada bupati/walikota atas SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN.
            Permohonan keberatan harus disampaikan secara tertulis paling lama 3 bulan sejak tanggal SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN diterima oleh Wajib Pajak kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya.
            Walikota/bupati dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat permohonan keberatan diterima, sudah harus memberikan keputusan. Apabila setelah lewat waktu 12 (dua belas) bulan bupati/walikota tidak menberikan keputusan, maka permohonan keberatan dianggap dikabulkan. Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak.
            Wajib Pajak dapat mengajukan banding kepada Badan Penyelesaian  Sengketa Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga bulan ) setelah diterimanya keputusan keberatan. Pengajuan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak. Apabila pengajuan keberatan atau banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
            Bupati/walikota atau pejabat yang ditunjuk berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan tujuan lain dalam rangka melaksanakan peraturan daerah tentang Pajak Parkir. Pelaksanaan pemeriksaan  dilaksanakan oleh petugas yang ditunjuk oleh bupati/walikota atau pejabat yang berwenang.
2.4.1.   Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak
            Menurut Darwin (2010:188), pengembalian kelebihan pembayaran pajak daerah maupun retribusi daerah sesungguhnya sama saja dengan pajak-pajak lain, hanya saja untuk pajak daerah dan retribusi daerah harus diajukan kepada Kepala Daerah.
Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak daerah dari Wajib Pajak harus memberikan keputusan. Apabila waktu 12 bulan terlampaui edan Kepala Daerah tidak memberi keputusan maka permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dianggap dikabulkan. Konsekwensinya adalah bahwa dalam waktu paling lama satu bulan setelah 12 bulan Kepala Daerah harus menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar dan segera mengirimkannya kepada Wajib Pajak.
            Apabila Wajib Pajak mermpunyai utang pajak, kelebihan pembayaran pajak langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak. Pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 bulan sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar. Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak daerah dilakukan setelah jangka waktu 2 bulan, Kepala Daerah memberikan imbalan bunga 2% sebulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran pajak daerah.
2.4.2.   Bagi Hasil Pajak dan Biaya Pemungutan Pajak Air Permukaan
Menurut Marihot P Siahaan (2011:490), bagi hasil pajak dan biaya pemungutan pajak:
1)      Bagi Hasil Pajak
Hasil penerimaan Pajak Air Permukaan merupakan pendapatan daerah yang harus disetorkan seluruhnya ke kas daerah kabupaten/kota. Hasil penerimaan Pajak Air Permukaan sebagian diperuntukkan bagi daerah kabupaten/kota di wilayah provinsi tempat pemungutan Pajak Air Permukaan. Pembagian hasil penerimaan Pajak Air Permukaan ditetapkan dalam peraturan daerah provinsi,dengan perimbangan :
a.       50% menjadi bagia provinsi
b.      50% diserahkan kepada kabupaten/kota
2)      Biaya Pemungutan Pajak
            Dalam rangka pelaksanaan kegiatan pemungutan dan pengelolaan Pajak Air Permukaan, dapat diberikan biaya pemungutan, misalnya sebesar lima persen dari hasil penerimaan pajak yang telah disetorkan ke kas daerah provinsi. Biaya pemungutan adalah biaya yang diberikan kepada aparat penunjang dalam rangka kegiatan pemungutan. Alokasi dan penggunaan biaya pemungutan Pajak Air Permukaan ditetapkan dengan keputusan gubernur dengan berpedoman kepada ketentuan yang berlaku. Pembahasan tentang bagi hasil pajak dan biaya pemungutan adalah sebagaimana yang telah dibahas pada Bab 2 Ketentuan Umum Pajak Daerah.


2.5       Kadaluarsa
Menurut Darwin  (2010:18), hak untuk melakukan penagihan pajak daerah, kadaluarsa setelah melampaui jangka waktu 5 tahun sejak saat terutangnya pajak daerah, kecuali apabila Wajib Pajak daerah melakukan tindak pidana di bidang perpajakan daerah. Kadaluarsa penagihan pajak daerah tertanggu apabila:
1)      Diterbitkan Surat Teguran Pajak Daerah atau Surat Paksa. Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa kadaluarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Paksa tersebut;
2)      Ada pengakuan utang pajak daearh dari Wajib Pajak Daerah baik langsung maupun tidak langsung. Yang dimaksud dengan pengakuan utang pajak secara langsung adalah Wajib Pajak daerah dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang pajak daerah dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah. Pengakuan pajak daerah tidak langsung dapat diketahi dari pengakuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan kebaratan oleh Wajib Pajak.
2.5.1.   Sanksi Administrasi dan Ketentuan Pidana
 Menurut Azhari (2004:140), bupati/walikota dapat menutup dan mencabut ijin usaha bagi pengusaha apabila:
1)      Melalaikan dan atau selama 2 (dua) bualn berturut-turut tidak membayar   pajak;
2)      Dengan sengaja memungut pajak dengan tidak menggunakan tanda bukti yang sah, atau memungut pajak tidak disetorkan ke Kas Daearh;
3)      Tidak melayani dengan baik petugas dan atau tanpa dasar alasan yang sah menolak untuk diadakan tindakan penungguan, pemeriksaan dan melawan petugas pemeriksa yang sah yang dilengkapi dengan surat tugas bupati/walikota atau pejabat yang ditunjuk.
            Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuanagn daerah dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak yang terutang.
            Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan lain yang tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan lain yang tidak benar sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda 4 (empat) kali jumalh pajak yang terutang.
            2.5.2.   Upaya Peningkatan Pajak
       Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (2002:1250), pengertian upaya adalah usaha, ikhtiar (untuk mencapai suatu maksud, memecahkan persoalan, mencari jalan keluar dan sebagainya). Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (2002:1198) Peningkatan berasal dari kata tingkat yaitu proses, cara, perbuatan meningkatkan (usaha, kegiatan dan sebagainya).
       Upaya meningkatkan penerimaan pajak bisa dilakukan dengan cara melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi menurut Abdul Halim (2004:147) adalah suatu usaha yang dilakukan oleh pemerintah kota/kabupatem untuk meningkatkan penerimaan pajak daerah.      
       Intensifikasi menurut Adrian Sutedi (2009:161) dapat dilakukan dengan cara:
1)      Memperluas basis penerimaan
Tindakan yang dilakukan untuk memperluas basis penerimaan yang dapat dipungut oleh daerah, yang dalam perhitungan ekonomi dianggap potensial, antara lain yaitu mengidentifikasi pembayar pajak baru/potensial dan jumlah pembayar pajak, memperbaiki basis data objek, memperbaiki penilaian, menghitung kapasitas penerimaan dari setiap pungutan.
2)      Memperkuat proses pemungutan
Upaya yang dilakukan dalam memperkuat proses pemungutan, antara lain mempercepat penyusunan Perda, mengubah tarif, khususnya tarif retribusi dan peningkatan SDM.
3)      Meningkatkan pengawasan
Hal ini dapat ditingkatkan yaitu antara lain dengan melakukan pemeriksaan secara dadakan dan berkala, memperbaiki proses pengawasan, menerapkan sanksi terhadap penunggak pajak dan sanksi terhadap fiskus, serta meningkatkan pembayaran pajak dan pelayanan yang diberikan daerah.
4)      Meningkatkan efisiensi administrasi dan menekan biaya pemungutan
Tindakan yang dilakukan oleh daerah yaitu antara lain memperbaiki prosedur administrasi pajak melalui penyederhanaan administrasi pajak, meningkatkan efisiensi pemungutan dari setiap jenis pemungutan.
5)      Meningkatkan kapasitas penerimaan melalui perencanaan yang lebih baik .
Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait di daerah.
            Ekstensifikasi menurut Adrian Sutedi (2009:161) perpajakan juga dapat dilakukan melalui kebijakan Pemerintah untuk memberikan kewenangan perpajakan yang lebih besar kepada daerah pada masa mendatang. Untuk itu,  perlu adanya perubahan dalam sistem perpajakan di Indonesia sendiri melalui sistem pembagian langsung atau beberapa basis pajak Pemerintah Pusat yang lebih dipungut oleh daerah.



BAB III
METODE PENELITIAN
3.1       Gambaran Umum Lokasi Penelitian
3.1.1.   Sejarah Singkat
Dinas Pendapatan Provinsi Jawa Barat secara historis diawali dengan unit kerja yang bertugas untuk melakukan pengurusan Perpajakan dan Pendapatan Daerah, sebelum tahun 1971 ditangani oleh Biro Pendapatan dan Perpajakan yang berada dalam lingkungan bidang Administrasi Bidang Keuangan
Berdasarkan SK Gubernur Provinsi Jawa Barat Nomor 219/PO/V/OM/SK/71 tanggal 25 September 1971 dibentuk Jawatan Perpajakan dan Pendapatan Provinsi Jawa Barat. Jawatan ini secara efektif dimulai Tahun Anggaran 1972/1973, dengan dikeluarkannnya Surat Keputusan Gubernur tersebut, untuk pertama kalinya pengurusan Perpajakan dan Pendapatan Daerah ditangani secara terpisah dari lingkungan Keuangan.
Dengan dikeluarkannya Undang- Undang Nomor. 5 Tahun 1974 tentang Pokok- Pokok Pemerintahan di Daerah, Nomenklatur Jawatan Perpajakan dan Pendapatan Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, diganti menjadi Dinas Perpajakan dan Pendapatan Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
Sejak Tahun 1970 kantor Dinas Perpajakan dan Pendapatan Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat bertempat di Jln. Ir. H. Juanda 37 Bandung. Tahun 1984 Kantor Dinas Pendapatan Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat pindah ke Gedung Baru yang berlokasi di Jln. Soekarno Hatta no. 528 Bandung.
Sejak dibentuknya Dinas Pendapatan Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, berdasarkan Peraturan Daerah Nomor : 7/DP040/1978 Tanggal 30 Agustus 1978 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pendapatan Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, mendapat pengesahan Menteri Dalam Negeri dengan Surat Keputusan No. : Pem.10/69/40.655 tanggal 16 Oktober 1979, nomenklatur Dinas Perpajakan dan Pendapatan Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat tidak digunakan lagi.
Pembentukan Dinas Pendapatan Daerah berpedoman pada Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 363 Tahun 1977 Tanggan 4 November 1977 tentang pedoman Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah serta Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. KUPD 7/7/39126 Tanggal 31 Maret 1978 Tentang Susunan Organisasi Tata Kerja Dinas Pendapatan Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat didasarkan pada Peraturan Daerah Nomor 7/PD-010/1978 Tanggal 30 Agustus yang kemudian diubah untuk pertama kali dengan Peraturan Daerah Nomor I Tahun 1990 tanggal 24 Januari 1990.
Berdasarkan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 1950, tentang Pembentukan Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat (Berita Negara tanggal 4 Juli 1950), wilayah kerja Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, meliputi wilayah Banten, wilayah II Banten, wilayah III Cirebon, wilayah IV Purwakarta, dan wilayah IV Priangan. Perkembangan selanjutnya sejak ditetapkan Undang- Undang Nomor : 23 Tahun 2000, tentang Pembentukan Provinsi Banten, maka wilayah kerja Pembantu Gubernur Banten terpisah dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Begitu pula Cabang Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten/Kota yang berlokasi di wilayah Banten menjadi Cabang Dinas Pendapatan Provinsi Banten.
Lingkungan Dinas Pendapatan Provinsi Jawa Barat, secara otomatis yang asalnya membawahi 25 Cabang Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten/Kota, maka sejak terbentuknya Provinsi Banten, menjadi 20 Cabang Dinas Pendapatan.
Dengan diberlakukannya Undang- Undang Nomor 22 tahun1999 tentang Pemerintahan Daerah dan diikuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor : 84 tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah ( Lembaga Negara tahun 2000 nomor 165), maka Struktur Organiasi dan Tata Kerja (SOTK) Dinas/ Badan/ Lembaga di lingkungan Pemerintahan Provinsi Jawa Barat telah diubah berdasar kepada Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat no. 21 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Provinsi Jawa Barat.
Selanjutnya dalam melaksanakan Tugas Pokok dan Fungsinya, Dinas Pendapatan Provinsi Jawa Barat sesuai dengan Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) yang baru, dibantu oleh Sekretariat, Bidang Perencanaan dan Pengembangan, Bidang Pajak, Bidang Non Pajak dan Bidang Pengendalian dan Pembinaan. Sedangkan dalam pelaksanaan tugas di lapangan, operasionalnya dilaksanakan oleh 31 (tiga puluh satu) Unit Pelayanan Pendapatan Daerah Provinsi yang tersebar di Kabupaten/Kota se- Jawa Barat.
UPP Lingkungan Dinas di Jawa Barat Terdiri dari:
1)      UPP Wilayah Pelayanan I (Depok)
2)      UPP Wilayah Pelayanan II (Cibinong)
3)      UPP Wilayah Pelayanan III (Bogor)
4)      UPP Wilayah Pelayanan IV (Sukabumi)
5)      UPP Wilayah Pelayanan  V (Cibadak)
6)      UPP Wilayah Pelayanan VI (Pelabuhan Ratu)
7)      UPP Wilayah Pelayanan VII (Cianjur)
8)      UPP Wilayah Pelayanan VIII (Bekasi)
9)      UPP Wilayah Pelayanan IX (Cikarang)
10)  UPP Wilayah Pelayanan X (Karawang)
11)  UPP Wilayah Pelayanan XI (Purwakata)
12)  UPP Wilayah Pelayanan XII (Subang)
13)  UPP Wilayah Pelayanan XIII (Cirebon)
14)  UPP Wilayah Pelayanan XIV (Sumber)
15)  UPP Wilayah Pelayanan XV (Ciledug)
16)  UPP Wilayah Pelayanan XVI (Indramayu)
17)  UPP Wilayah Pelayanan XVII (Haurgeulis)
18)  UPP Wilayah Pelayanan XVIII (Kuningan)
19)  UPP Wilayah Pelayanan XIX (Majalengka)
20)  UPP Wilayah Pelayanan XX (Bandung Barat)
21)  UPP Wilayah Pelayanan XXI (Bandung Tengah)
22)  UPP Wilayah Pelayanan XXII (Bandung Timur)
23)  UPP Wilayah Pelayanan XXIII (Padalarang)
24)  UPP Wilayah Pelayanan XXIV (Rancaekek)
25)  UPP Wilayah Pelayanan XXV (Sumedang)
26)  UPP Wilayah Pelayanan XXVI (Garut)
27)  UPP Wilayah Pelayanan XXVII (Tasikmalaya)
28)  UPP Wilayah Pelayanan XXVIII (Sukaraja)
29)  UPP Wilayah Pelayanan XXIX (Ciamis)
30)  UPP Wilayah Pelayanan XXX (Pangandaran)
31)  UPP Wilayah Pelayanan XXXI (Cimahi)
3.1.2.  Visi dan Misi UPPD
1.      Visi
Sebagai pengelola pendapatan asli daerah (PAD) yang amanah dengan berorientasi kepada kepuasan pelayanan publik.
2.      Misi
a.       Meningkatkan penerimaan pendapatan asli daerah (PAD)
b.      Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat
c.       Memantapkan kinerja Sumber Daya Manusia (SDM)
d.      Menjalin jejaring kerja dan koordinasi secara sinergis di bidang pendapatan asli daerah.

STRUKTUR ORGANISASI
DINAS PENDAPATAN CABANG PELAYANAN
DISPENDA KOTA DEPOK I


Rounded Rectangle: KELOMPOK JABATAN FUNGSIONALRounded Rectangle: SUB BAGIAN 
TATA USAHA 
Rounded Rectangle: INSTALASIRounded Rectangle: SEKSI PAJAK NON PKB/BBNKBRounded Rectangle: SEKSI PKB/BBNKBRounded Rectangle: SEKSI NON PAJAK                                                     














Gambar 3.1

3.2       Deskripsi Jabatan:
  1. Kepala UPP
Kepala UPP mempunyai tugas pokok memimpin, mengkoordinasikan dan mengendalikan pelaksanaan kegiatan pelayanan pendapatan daerah.
Dalam melaksanakan tugas pokok, kepala UPP mempunyai fungsi:
1)      Pelaksanaan teknis operasional di bidang pendapatan daerah
2)      Penyelenggaraan pelayanan umum di bidang pendapatan daerah
  1. Rincian  tugas kepala UPP adalah sebagai berikut:
1)      Memimpin, mengatur, mengendalikan seluruh pelaksanaan kegiatan UPP
2)      Menetapkan rencana kerja operasional tahunan sesuai dengan kebijakan teknis operasional dinas.
3)      Memberika saran, pertimbangan dan atau informasi kepada kepala dinas sebagai bahan kebijakan.
4)      Meyelenggarakan pengaturan pelayanan umum bidang PKB/BBNB pajak non PKB/BBNKB dan Non Pajak serta pendapatan lain yang menjadi kewenangan provinsi.
5)      Melaksanakan koordinasi dengan instansi terkait
6)      Menyelenggarakan evaluasi dan pelaporan kegiatan UPP.
3.2.1.   Sub.bagian Tata Usaha
Sub.bagian tata usaha mempunyai tugas pokok pelaksanaan penyusunan rencana kerja, pengelolaan administrasi kepegawaian, keuangan, pelengkapan, umum dan pelaporan.
  1. Dalam melaksanakan tugas pokok, Subbagian tata usaha mempunyai fungsi:
a.       Pelaksanaan penyusunan rencana kerja UPP
b.      Pelaksanaan pengelolaan administrasi kepegawaian, keuanagn, perlengkapan dan umum.
  1. Rincian tugas Subbagian Tata Usaha adalah sebagai berikut:
a.       Melaksanakan kegiatan dalam bidang ketatausahaan
b.      Menyiapkan dan menyusun rencana anggaran
c.       Melaksanakan pengelolaan di bidang kepegawaian, keuangan, perlengkapan, dan umum di lingkungan UPP
d.      Memberikan saran atau pertimbangan kepada kepal UPP mengenai hal-hal berkaitan dengan pelaksanaan tugas-tugas kedinasan
e.       Mengumpulkan dan mengolah bahan/laporan di bidang administrasi serta mengajukan pemecahan masalah da pertimbangannya kepada kepala UPP untuk di jadikan bahan pertimbangan lebih lanjut
f.       Melaksanakan pengurusan rumah tangga UPP
g.      Melaksanakan koordinasi dengan instalasi terkait
h.      Kelompok Jabatan Fungsional
  1. Rincian tugas Kelompok Jabatan Fungsional di tetapkan berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku
  2. Setiap Kelompok Jabatan Fungsional dikoordinasikan oleh seorang tenaga fungsional profesional yang di tunjuk di antara tenaga fungsional yang berada di lingkungan UPP dan Kepala UPP.
3.2.2.   Seksi PKB/BBNKB
  1. Seksi PKB/BBNKB mempunyai tugas pokok melaksankan pelaksanaan di bidang pungutan PKB/BBNKB.
  2. Dalam melaksanakan tugas pokok, seksi PKB/BBNKB mempunyai fungsi:
a.       Pelaksanaan pelayanan di bidang pungutan PKB/BBNKB melalui proses pemungutan yang di dasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
b.      Pelaksanaan kordinasi tugas pelayanan di bidang pungutan PKB/BBNKB
3.3       Pengendalian tugas pelayanan di bidang pungutan PKB/BBNKB.
3.3.1.   Rincian tugas seksi PKB/BBNKB
1.      Melaksanakan administrasi pendaftaran dan pendataan, penelitian, perhitungan dan penetapan, penagihan pembayaran dan penyetoran di bidang pungutan PKB/BBNKB
2.      Melaksanakan pelayanan terhadap permohonan keberatan yang di ajukan oleh para wajin pajak mengenai besarnya PKB/BBNKB dan tata cara pelunasan pembayaran PKB/BBNKB.
3.      Menyusun rumusan guna penyelesaian lebih lanjut terhadap tunggakan PKB/BBNKB dan atas keberatan yang di ajukan oleh para wajib pajak.
4.      Melaksanakan koordinasi dengan instansi terkait
5.      Melaksanakan evaluasi dan laporan
3.3.2    Seksi Pajak Non PKB/BBNKB
3.3.3.   Seksi pajak Non PKB/BBNKB mempunyai tugas pokok melaksanakan pelayanan pajak Non PKB/BBNKB
Berikut adalah tugas pokok pelaksanaan pelayanan pajak Non PKB/BBNKB:
a.       Dalam melaksanakan tugas pokok, seksi pajak Non PKB/BBNKB mempunyai fungsi:
b.      Pelaksanaan pelayanan di bidang pajak Non PKB/BBNKB Melalui proses pemungutan yang di dasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
c.       Pengkoordinasian pelaksanaan tugas pelayanan di bidang Pajak Non PKB/BBNKB
  1. Pengendalian tugas pelayanan di bidang pajak Non PKB/BBNKB
3.3.4    Rincian tugas seksi pajak Non Pajak PKB/BBNBK
a.       Melaksanakan administrasi pendaftaran dan pendataan, penelitian perhitungan dan penetapan, penagihan, pembayaran dan penyetoran di bidang pungutan pajak Non PKB/BBNKB
b.      Melaksanakan pelayanan terhadap permohonan keberatan yang di ajukan oleh para wajib pajak mengenai besarnya pajak dan tata cara pelunasan pembayaran Pajak Non PKB/BBNKB
c.       Menyusun rumusan guna pelaksanaan penyelesain lebih lanjut terhadap tunggakan Pajak Non PKB/BBNKB dan atas keberatan yang di ajukan oleh para wajib pajak Non PKB/BBNKB
d.      Melaksanakan kordinasi dengan instalasi terkait
e.       Melaksanakan evaluasi dan pelaporan
3.3.5    Seksi Non Pajak
  1. Seksi Non Pajak mempunyai tugas pokok melaksanakan pelayanan di bidang pungutan Non Pajak.Untuk melaksanakan tugas pokok, seksi Non Pajak mempunyai fungsi:
a.       Pelaksanaan administrasi pelayanandi bidang pungutan retribusi daerah melalui proses pemungutan yang di dasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku
b.      Pelaksanaan monitoring dalam bidang penerimaan pendapatan lain-lain yang di kelola oleh dinas/  instansi penghasil di lingkungan propinsi maupun hasil penerimaan dari pemerintah pusat
c.       Pengendalian pelayanan bidang pungutan retribusi daerah dan pungutan Non Pajak.
  1. Rincian tugas Seksi Non Pajak
a.       Melaksanakan administrasi penagihan, pembayaran dan penyetoran di bidang pungutan tertentu dalam lingkup pungutan Non Pajak.
b.      Melaksanakan pelayanan terhadap permohonan keberatan yang di ajukan oleh para wajib bayar mengenai besarnya pungutan dan tata cara pelunasan pembayaran pungutan tertentu dalam lingkup Non Pajak.
c.       Menyusun rumusan guna pelaksanaan penyelesaian lebih lanjut terhadap tunggakan pungutan non pajak dan atas keberatan yang di ajukan oleh para wajib bayar sebagaimana dimaksud pada bagian b di atas.
d.      Melaksanakan monitoring dalam bidang penerimaan pendapatan lain-lain yang dikelola oleh dinas/ instansi penghasil di lingkunagn propinsi maupun hasil penerimaan dari pemerintah pusat.
e.       Melaksanakan koordinasi dengan instansi terkait.
f.       Melaksanakan evaluasi dan pelaporan

3.4       Instalasi
Instalasi mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan operasional UPP di bidang pelayanan pendapatan daerah di wilayah kerja atau wilayah pelayanan tertentu.
Untuk menyelenggarakan tugas pokok, adapun fungsi instalasi adalah:
a.       Pelaksanaan penyusunan rencana kerja instalasi
b.      Pelaksanaan administrasi pendaftaran dan pendataan, penelitian perhitungan dan penetapan, pengalihan, pengalihan, pembayaran dan penyetoran di bidang pungutan Pajak PKB/BBNKB. Pajak Non PKB/BBNKB dan Non Pajak
c.       Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan instalasi
3.5       Metode pengumpulan data/ variabel
Untuk mendapatkan data serta informasi yang akurat dan lengkap sebagai dasar dari penulisan ilmiah ini, maka penulis menggunakan metode penelitian :
3.5.1.   Riset Pustaka (Library Research)
Yaitu metode pengumpulan data yang bersumber dari buku-buku, dokumen-dokumen dan lain sebagainya yang berhubungan langsung dengan masalah yang menjadi penelitian.
3.5.2.   Riset Lapangan (Field Research)
Penelitian ini melakukan pengumpulan data dengan cara :
  1. Wawancara
Yaitu pengumpulan data dengan melakukan tanya jawab langsung kepada pihak-pihak yang terkait dengan masalah pemungutan pajak pengambilan dan pemanfaatan air permukaan.
  1. Riset Lapangan
Yaitu pengumpulan data dengan melakukan pencatatan terhadap data-data yang dibutuhkan dan melakukan pengamatan terhadap situasi serta kondisi yang dihadapi oleh Dinas Pendapatan Daerah (DISPENDA) Provinsi Jawa Barat, UUP. Daerah Provinsi Wiayah Depok I pada waktu penelitian berhubungan dengan masalah mekanisme pemungutan pajak pengambilan dan pemanfaatan air permukaan.








DAFTAR PUSTAKA
Abut, Hilarius, Perpajakan, Jakarta: Diadit Media Jakarta, 2002

Darwin, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,  Jakarta:  Mitra Wacana Media, 2010

Mardiasmo. Perpajakan, Yogyakarta: Andi, 2009

Anshari, Setia. Pengantar Hukum Pajak, Malang: Bayumedia Publishing, 2006

Pudyatmoko, Sri, Pengantar Hukum Pajak, Yogyakarta: Andi, 2009

Rahman, Abdul,  Administrasi Perpajakan, Bandung: Nuansa, 2010

Samudra, A. Azhari, Perpajakan di Indonesia Keuangan, Pajak dan Retribusi. Jakarta: Hecca Publising, 2005

Siahaan, Pahala, Marihot, Pajak dan Retribusi Daerah, Jakarta: Rajawali Pers, 2011

Suandy, Erly, Hukum Pajak, Jakarta: Salemba Empat, 2010

Sumyar, Dasar-Dasaar Hukum Pajak dan Perpajakan, Yogyakarta: Andi, 2004
Peraturan Perundangan:
Undang-undang Nomor. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Peraturan Gubernur Nomor 17 Tahun 2001 tentang Tupoksi Unit di lingkungan Dispenda Provinsi Jawa Barat terkait dengan SOP


Tidak ada komentar:

Posting Komentar