PROPOSAL SKRIPSI
Diajukan
guna melengkapi syarat – syarat untuk mencapai
gelar
Sarjana Ekonomi Jurusan Akuntansi jenjang Strata Satu
Fakultas
Ekonomi Universitas Gunadarma
Nama : May Puspita Sari NPM : 29210044
Kelas : 4EB10 Jurusan/Jenjang : Akuntansi/S1
FAKULTAS
EKONOMI
UNIVERSITAS
GUNADARMA
JAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Cabang
Pelayanan DISPENDA Kota Depok I adalah
Unit Pelaksana yang dibawahi oleh Dinas Pendapatan Daerah Jawa Barat yang
bertugas memimpin dan mengkoordinir seluruh usaha dibidang pungutan dan
pendapatan daerah berdasarkan ketentuan - ketentuan, baik yang digariskan oleh
Pemerintah Pusat maupun yang digariskan Pemerintah Provinsi.
Salah
satu komponen pajak yang berpengaruh dalam pendapatan daerah adalah pajak
pengambilan dan pemanfaatan air permukaan. Pajak ini dikenakan kepada
perusahaan/ badan- badan lain yang menggunakan, mengambil dan memanfaatkan air
sebagai fasilitas pendukung berjalannya perusahaan.
Cabang
Pelayanan Pajak Daerah khususnya Pajak Pengambilan dan pemanfaatan Air
Permukaan bekerja sama dengan Balai Pendayagunaan Sumber Daya Air yang
bertujuan untuk mengetahui Harga Dasar Air sebagai Dasar Penetapan Nilai
Perolehan Air Permukaan melalui praktek lapangan atau terjun langsung ke
perusahaan seperti PDAM yang meliputi wilayah kota Depok 1, sehingga pihak Cabang
Pelayanan DISPENDA tersebut dapat melakukan mekanisme dan teknis pemungutan
pajak pengambilan dan pemanfaatan air permukaan kepada wajib pajak di sekitar
wilayah kota Depok I.
Berdasarkan hal tersebut di atas,
maka penulis tertarik untuk memilih Cabang Pelayanan DISPENDA Kota Depok I sebagai tempat penulis melakukan riset dengan
judul laporan mengenai: “MEKANISME PEMUNGUTAN PAJAK PENGAMBILAN DAN PEMANFAATAN
AIR PERMUKAAN PADA CABANG PELAYANAN DISPENDA KOTA DEPOK I.”
1.2 Rumusan
Masalah
- Bagaimana
mekanisme pemungutan pajak pengambilan dan pemanfaatan Air Permukaan pada Cabang Pelayanan DISPENDA Kota Depok
I Masa Pajak Oktober 2012?
- Bagaimana
Teknis Pemungutan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air
Permukaan pada Cabang Pelayanan DISPENDA Kota Depok I Masa Pajak Oktober 2012? - Apakah
dalam Mekanisme Pemungutan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Permukaan
telah sesuai dengan Pergub No 17 Tahun 2001 tentang Tupoksi Unit dan UPPD di lingkungan DISPENDA yang
berkaitan dengan SOP tersebut?
1.3 Tujuan
Penelitian
- Untuk
mengetahui mekanisme pemungutan pajak pengambilan dan pemanfaatan air permukaan pada Cabang Pelayanan
DISPENDA Kota DepokI Masa Pajak Oktober
2012.
- Untuk
mengetahui teknis pemungutan pajak pengambilan dan pemanfaatan air permukaan
pada Cabang Pelayanan DISPENDA Kota Depok I Masa Pajak Oktober 2012.
- Untuk
mengetahui apakah mekanisme pemungutan pajak pengambilan dan
pemanfaatan air permukaan sesuai dengan Pergub No.17 Tahun 2011.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Kerangka
Teori
2.1.1. Definisi Pajak
Pengertian
Pajak menurut Undang-undang No. 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir No. 28
Tahun 2007 Pasal 1 ayat 1 tentang Ketentuan Umum Perpajakan yang dimaksud pajak
adalah:
“Pajak
adalah kontribusi Wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesarnya-besarnya
kemakmuran.”
Pengertian
pajak menurut Rochmat Soemitro (Hilarius Abut,2001:1)
“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan
undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa-jasa timbal
(kontra-prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk
membayar pengeluaran umum”.
Sedangkan
pengertian pajak menurut Smeets (Erly Suandy,2011:9)
“Pajak adalah prestasi kepada
pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan,
tanpa ada kalanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang
individual; maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah”.
2.1.2. Fungsi Pajak
Fungsi
pajak menurut Abdul Rahman
(2010:21) ada 4, yaitu:
1.
Fungsi anggaran
(budgeter)
Sebagai
sumber pendapatan Negara, pajak berfungsi untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran Negara. Untuk
menjalankan tugas-tugas rutin Negara dan melaksanakan pembangunan Negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan
pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai,
belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya.
2.
Fungsi Mengatur (regulerend)
Pemerintah
bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai
alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal,
baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas
keringanan pajak.
3.
Fungsi stabilitas
Dengan
adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang
berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan. Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan
jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak
yang efektif dan efisien.
4.
Fungsi redistribusi
pendapatan
Pajak
yang sudah dipungut oleh Negara akan digunakan untuk membiayai semua
kepentingan umum, termasuk juga untuk membiyai pembangunan sehingga dapat
membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan
masyrakat.
2.1.3. Syarat Pemungutan Pajak
Agar
pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak
harus memenuhi syarat.
Menurut
Mardiasmo (2011:2), sebagai berikut:
1.
Pemungutan pajak
harus adil (syarat keadilan)
Sesuai
dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan undang-undang dan pelaksanaan
pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan
pajak secara umum dan merata, serta
disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedang adil dalam pelaksanaannya
yakni dengan memberikan hak bagi Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan,
penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan
Pajak.
2.
Pemungutan pajak
harus berdasarkan undang-undang (syarat yuridis).
Di
Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan
keadilan, baik Negara maupun warganya.
3.
Tidak mengganggu perekonomian
(syarat ekonomis)
Pemungutan
tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan,
sehingga tidak menimbukan kelesuan perekonomian rakyat.
4.
Pemungutan pajak
harus efisien (syarat finansiil)
Sesuai
fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih
rendah dari hasil pemungutannnya.
5.
Sistem pemungutan
pajak harus sederhana
Sistem
pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam
memenuhi kewajibaan perpajakannya.
2.1.4. Sistem Pemungutan Pajak
Menurut
Sumyar (2004:97) ada 3 macam sistem pemungutan pajak yaitu:
1)
Official Assessment System
Suatu
sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang
terutang oleh Wajib Pajak.
Ciri-cirinya:
a)
Wewenang untuk
menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus (fiskus aktif);
b)
Wajib Pajak
bersifat pasif;
c)
Utang pajak timbul
setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.
2)
Self
Assessment System
Suatu
sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang kepada Wajib
Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.
Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.
Ciri-cirinya:
a)
Wewenang untuk
menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri (wajib pajak
yang aktif);
b)
Wajib Pajak aktif,
mulai menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang;
c)
Fiskus tidak ikut
campur dan hanya mengawasi (fiskus aktif).
3)
With
Holding System
Suatu
sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak
ketiga (bukan fiksus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk
menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
ketiga (bukan fiksus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk
menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
Contoh
pihak ketiga yang dimaksud dalam system ini misalnya: konsulen pajak, akuntan
publik, wajib pungut atau wajib potong dan sebagainya.
2.1.5. Asas Pemungutan Pajak
Dalam buku An
Inquliry the Nature and Causes of The Wealth of Nations
yang ditulis oleh Adam Smith pada abad ke-18 mengajarkan tentang asas-
asas pemungutan pajak yang dikenal dengan nama four connons atau the
four maxims dengan uraian berikut: (Erly Suandi, 2011:25)
yang ditulis oleh Adam Smith pada abad ke-18 mengajarkan tentang asas-
asas pemungutan pajak yang dikenal dengan nama four connons atau the
four maxims dengan uraian berikut: (Erly Suandi, 2011:25)
- Equity
Pembebanan
pajak antara subjek pajak hendaknya seimbang dengan
kemampuannya, yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya di
bawah perlindungan pemerintah.
kemampuannya, yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya di
bawah perlindungan pemerintah.
- Certainty
Pajak
yang dibayar oleh Wajib Pajak harus jelas dan tidak mengenal
kompromi kompromis (not arbitrary)
kompromi kompromis (not arbitrary)
- Convenience of
Payment
Pajak
hendaknya dipungut pada saat yang paling
baik bagi Wajib Pajak,
yaitu saat sedekat-dekatnya dengan saat diterimanya
penghasilan/keuntungan yang dikenakan pajak.
yaitu saat sedekat-dekatnya dengan saat diterimanya
penghasilan/keuntungan yang dikenakan pajak.
- Economic of
collections
Pemungutan
pajak hendaknya dilakukan sehemat (seefisien) mungkin,
jangan sampai biaya pemungutan pajak lebih besar dari penerimaan pajak
itu sendiri.
jangan sampai biaya pemungutan pajak lebih besar dari penerimaan pajak
itu sendiri.
2.1.6. Pengelompokan Pajak
pengelompokkan
pajak Menurut Erly Suandy (2011:36) terdiri dari:
1) Berdasarkan
golongannya pajak dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Pajak langsung
Pajak
langsung adalah pajak yang bebannya harus ditanggung sendiri oleh
Wajib Pajak yang bersangkutan dan tidak dapat dialihkan kepada pihak
lain. Misalnya Pajak Penghasilan.
Wajib Pajak yang bersangkutan dan tidak dapat dialihkan kepada pihak
lain. Misalnya Pajak Penghasilan.
Pajak
Penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap penghasilan,
dapat dikenakan secara berkala dan berulang-ulang dalam jangka waktu
tertentu baik masa pajak maupun tahun pajak.
dapat dikenakan secara berkala dan berulang-ulang dalam jangka waktu
tertentu baik masa pajak maupun tahun pajak.
b.
Pajak
tidak langsung
Pajak
tidak langsung adalah pajak yang bebannya dapat dialihkan atau
digeserkan kepada pihak lain sehingga sering disebut pajak tidak langsung.
digeserkan kepada pihak lain sehingga sering disebut pajak tidak langsung.
Contoh:
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Dalam pajak ini
beban pajak digeserkan dari produsen/penjual ke pembeli/konsumen, karena
pergeseran ini searah dengan arus barang yaitu dari produsen ke konsumen maka
pergeserannya disebut pergeseran ke depan (forward shifting). Di samping itu,
ada juga yang disebut dengan pergeseran ke belakang (backward shifting) yaitu
pergeseran pajak yang berlawanan dengan arus barang.
2) Berdasarkan
wewenang pemungutannya pajak dapat dibagi menjadi dua yaitu:
a. Pajak
pusat/pajak Negara adalah pajak yang
wewenang pemungutannya ada pada pemerintah pusat yang pelaksanaannya dilakukan
oleh Departemen Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak. Pajak pusat diatur
dalam undang-undang dan hasilnya akan masuk ke Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN). Pajak pusat/Negara yang berlaku saat ini adalah sebagai berikut:
- Pajak
Penghasilan diatur dalam undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana yang
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991, Undang-undang Nomor
10 Tahun 1994, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 dan terakhir dengan
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008;
- Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah diatur dalam
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana yang telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994, selanjutnya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 dan
terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009;
- Pajak
Bumi dan Bangunan diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985
sebagaimana yang telah diubah dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994;
- Bea
Materai diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985;
- Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan diatur dalam Undang-undang Nomor 20
Tahun 1997 sebagaimana yang telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000
b. Pajak
daerah adalah pajak yang wewenang pemungutannya ada pada Pemerintah Daerah yang pelaksanaannya dilakukan oleh
Dinas Pendapatan Daerah. Pajak Pusat diatur dalam Undang-undang dan hasilnya
akan masuk ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pajak Daerah
diatur dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, terdiri atas 5 jenis
pajak daerah provinsi dan 11 pajak daerah kabupaten/kota adalah sebagai
berikut:
Pajak
Daerah Provinsi, adalah sebagai berikut:
a)
Pajak Kendaraan
Bermotor;
b)
Bea Balik Nama
Kendaraan Bermotor;
c)
Pajak Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor;
d)
Pajak Air
Permukaan;
e)
Pajak Rokok.
f)
Pajak Daerah
Kabupaten/Kota, adalah sebagai berikut:
g)
Pajak Hotel;
h)
Pajak Restoran;
i)
Pajak Hiburan;
j)
Pajak Reklame;
k)
Pajak Penerangan
Jalan;
l)
Pajak Mineral Bukan
Logam dan Batuan;
m)
Pajak Parkir;
n)
Pajak Air Tanah;
o)
Pajak Sarang Burung
Walet;
p)
Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan
q)
Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan.
2.1.7. Asas Pengenaan Pajak
Menurut
Sri Pudiyatmoko (2009:43) ada 3 asas dalam pengenaan pajak yaitu:
- Asas
Negara Tempat Tinggal
Asas
ini sering disebut asas domisili. Asas Negara tempat tinggal ini
mengandung arti bahwa Negara tempat tinggal seseorang bertempat
tinggal, tanpa memandang kewarganegaraannya, mempunyai hak yang tak
terbatas untuk mengenakan pajak terhadap orang-orang itu atas semua
pendapatan itu diperoleh.
mengandung arti bahwa Negara tempat tinggal seseorang bertempat
tinggal, tanpa memandang kewarganegaraannya, mempunyai hak yang tak
terbatas untuk mengenakan pajak terhadap orang-orang itu atas semua
pendapatan itu diperoleh.
- Asas
Negara Asal (Negara sumber)
Asas
Negara sumber mendasarkan pemajakan pada tempat di mana
sumber itu berada, seperti adanya suatu perusahaan, kekayaan atau tempat
kegiatan di suatu Negara. Negara di mana sumber itu berada mempunyai
wewenang untuk mengenakan pajak atas hasil yang keluar dari sumber itu.
sumber itu berada, seperti adanya suatu perusahaan, kekayaan atau tempat
kegiatan di suatu Negara. Negara di mana sumber itu berada mempunyai
wewenang untuk mengenakan pajak atas hasil yang keluar dari sumber itu.
- Asas
Kebangsaan
Asas
ini mendasarkan pengenaan pajak seseorang pada status
kewarganegaraannya. Jadi pemajakan dilakukan oleh Negara asal wajib
pajak. Yang dikenakan pajak ialah semua orang yang mempunyai
kewarganegaraan Negara tersebut, tanpa memandang tempat tinggalnya.
kewarganegaraannya. Jadi pemajakan dilakukan oleh Negara asal wajib
pajak. Yang dikenakan pajak ialah semua orang yang mempunyai
kewarganegaraan Negara tersebut, tanpa memandang tempat tinggalnya.
2.1.8. Pemeriksaan Pajak
Pemeriksaan
pajak menurut Tunggul Anshari Setia Negara (2006:86) yaitu:
“Serangkaian
kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, dan mengolah data dan atau keterangan
lain dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
berdasarkan ketentuan peruaturan perundang-undangan perpajakan”
Tujuan lain pemeriksaan menurut Erly Suandy
(2011:208) adalah melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, yang dapat dilakukan antara lain dalam hal:
1) Surat
Pemberitahuan (SPT) menunjukkan kelebihan pembayaran pajak dan/ atau rugi;
2) Surat
Pemberitahuan (SPT) tidak disampaikan atau disampaikan tidak tepat waktu yang
tealh ditetapkan;
3) Surat
Pemberitahuan (SPT) memenuhi kriteria yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal
Pajak.
2.2 Pajak
Daerah
2.2.1. Pengertian Pajak Daerah
Pajak
daerah Menurut Undang-undang No. 28 Tahun 2009 Pasal 10 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah, adalah:
“Pajak
Daerah adalah kontribusi wajib kepada
Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan
untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Sedangkan
pajak daerah menurut Erly Suandy (2011:229)
“Pajak
Daerah adalah iuran yang wajib dilakukan
oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang
seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan
pembangunan daerah”.
2.2.2. Tarif Pajak Daerah
Tarif Pajak Daerah berdasarkan
Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah yang
dikutip oleh Marihot P Sihaan (2011:87):
1) Tarif
Pajak Kendaraan Bermotor
a.
Untuk kepemilikan
Kendaraan Bermotor pertama paling rendah sebesar 1% (satu persen) dan paling
tinggi sebesar 2% (dua persen).
b.
Untuk kepemilikan
Kendaraan Bermotor kedua dan seterusnya tarif dapat ditetapkan secara progresif
paling rendah sebesar 2% (dua persen) dan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh
persen).
c.
Tarif pajak
Kendaraan bermotor angkutan umum, ambulans, pemadam kebakaran, sosial
keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, Pemerintah/TNI/POLRI, Pemerintah
Daerah, dan Kendaraan lain yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah, ditetapkan
paling rendah sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dan paling tinggi sebesar 1%
(satu persen).
d.
Tarif Pajak
Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar ditetapkan paling rendah
sebesar 0,1% (nol koma satu persen) dan paling tinggi sebesar 0,2% (nol koma
dua persen).
2) Tarif
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ditetapkan paling tinggi
masing-masing sebagai berikut:
masing-masing sebagai berikut:
a.
Penyerahan pertama
sebesar 20% (dua puluh persen)
b.
Penyerahan kedua
dan seterusnya sebesar 1% (satu persen).
3) Tarif
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor ditetapkan paling tinggi
sebesar 10% (sepuluh persen).
sebesar 10% (sepuluh persen).
4) Tarif
Pajak Air Permukaan ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh
persen).
persen).
5) Tarif
Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai
rokok.
rokok.
6) Tarif
Pajak Hotel ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
7) Tarif
Pajak Restoran ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
8) Tarif
Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 35% (tiga puluh lima persen). Khusus untuk Hiburan
berupa pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab
malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa, tarif
Pajak Hiburan dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 75% (tujuh puluh
lima persen). Khusus Hiburan kesenian rakyat/tradisional dikenakan tarif
Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
9) Tarif
Pajak Reklame ditetapkan paling tinggi sebesar 25% (dua puluh lima persen).
10) Tarif
Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen)
11) Tarif
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan ditetapkan paling tinggi sebesar 25% (dua puluh lima
persen).
12) Tarif
Pajak Parkir ditetapkan paling tinggi sebesar 30% (tiga puluh persen).
13) Tarif
Pajak Air Tanah ditetapkan paling tinggi sebesar 20% (dua puluh persen).
14) Tarif
Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
15) Tarif
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan paling tinggi sebesar 0,3% (nol
koma tiga persen)
16) Tarif
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen).
2.2.3. Ciri-ciri Pajak Daerah
Menurut
Azhari (2005:49), ciri-ciri Pajak Daerah adalah:
1) Pajak
daerah dapat berasal dari pajak asli daerah maupun pajak Negara yang diserahkan kepada daerah
sebagai pajak daerah;
2) Pajak
daerah dipungut oleh daerah terbatas di dalam wilayah administratif yang dikuasainya;
3) Hasil
pungutan pajak daerah dipergunakan untuk membiayai urusan rumah tangga daeerah atau untuk membiayai
pengeluaran daerah sebagai badan hukum;
4) Pajak
daerah dipungut oleh daerah berdasarkan kekuatan Peraturan Daerah (Perda), maka sifat pemungutan
pajak daerah dapat dipaksakan kepada masyarakat yang wajib membayar
dalam lingkungan kekuasaannya.
2.2.4. Dasar Pengenaan Pajak Daerah
Menurut
Marihot Pahala Siahaan (2011:90), dasar pengenaan Pajak daerah adalah sebagai
berikut:
Pajak Provinsi:
1) Pajak
Kendaraan Bermotor dikenakan atas hasil perkalian dari dua unsur pokok nilai jual kendaraan bermotor
dan bobot yang mencerminkan secara relative
tingkat kerusakan jalan dan atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor;
2) Bea
Balik Nama Kendaraan Bermotor dikenakan atas nilai jual kendaraan bermotor;
3) Pajak
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dikenakan atas nilai jual bahan bakar kendaraan bermotor sebelum
dikenakan Pajak Pertambahan Nilai;
4) Pajak
Air Permukaan dikenakan atas nilai perolehan air;
5) Pajak
Rokok dikenakan atas cukai yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap rokok
Pajak Kabupaten/Kota:
1) Pajak
Hotel dikenakan atas jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar oleh hotel;
2) Pajak
Restoran dikenakan atas jumlah pembayaran yang seharusnya diterima restoran;
3) Pajak
Hiburan dikenakan atas jumlah uang yang diterima atau yang seharusnya diterima oleh
penyelenggara hiburan;
4) Pajak
Reklame dikenakan atas nilai sewa reklame;
5) Pajak
Penerangan Jalan dikenakan atas nilai jual tenag listrik;
6) Pajak
Mineral Bukan Logam dan Batuan nilai jual hasil pengambilan mineral logam dan batuan;
7) Pajak
Parkir dikenakan atas jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar kepada penyelenggara tempat
parkir;
8) Pajak
Air Tanah dikenakan atas nilai perolehan air tanah;
9) Pajak
Sarang Burung Walet dikenakan atas nilai jual sarang burung walet;
10) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Perdesaan dan Perkotaan dikenakan
atas nilai jual objek pajak (NJOP);
11) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
dikenakan atas nilai perolehan objek pajak (NPOP).
2.2.5. Penerbitan SKPD
Penerbitan
SKPD menurut Marihot P Siahaan (2011:105) yaitu, berdasarkan SPTPD yang
disampaikan oleh wajib pajak, kepala daerah akan melakukan pemeriksaan dan
mengeluarkan penetapan pajak untuk menentukan apakah kewajiban pajak yang
terutang telah dilakukan sebagaimana mestinya. Pasal 9 Undang-undang Nomor 18
Tahun 1997 mengatur tentang ketentuan tentang Penerbitan Surat Ketetapan Pajak
terhadap wajib pajak, baik yang membayar pajak dengan penetapan sendiri (self
assessement) maupun berdasarkan ketetapn kepala daerah. Dalam jangka waktu lima
tahun sesudah saat terutangnya pajak, kepala daerah dapat menerbitkan:
a)
Surat Ketetapan
Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB);
b)
Surat Ketetapan
Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan (SKPDKBT);
c)
Surat Ketetapan
Pajak Daerah Nihil (SKPDN).
Khusus
untuk SKPDKB dan SKPDKBT diterbitkan apabila ditemukan data baru dan/atau data
yang semula belum terungkap yang menyebabkan penammbahan jumlah pajak yang
terutang. SKPDN diterbitkan apabila jumlah pajak tidak terutang sama besarnya
dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit
pajak.
2.2.6. Pembayaran Pajak Daerah
Pembayaran
pajak daerah menurut Darwin (2010:157), merupakan suatu tindakan untuk melunasi
hutang pajaknya. Pembayaran pajak daerah dapat dilakukan oleh wajib pajak
daerah segera setelah memperoleh Surat Pemberitahuan Pajak Daerah dengan
mengacu kepada self assessment system. Pembayaran dan penyetoran pajak daerah
yang terutang adalah paling lama 30 hari setelah saat terutangnya pajak atau
berdasarkan peraturan daerah.
2.3. Pajak Air Permukaan
2.3.1. Pengertian Pajak Air Permukaan
Pajak
Air Permukaan adalah pajak atas pengambilan dan atau pemanfaatan air permukaan.
Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah, tidak
termasuk air laut, baik yang berada di laut maupun di darat. Pajak Air
Permukaan semula bernama Pajak Pengambilan Permanfaatan Air Bawah Tanah dan Air
Permukaan (PPPABTAP) berdasarkan Undang-Undang nomor 34 Tahun 2000. Hanya saja
berdasarkan Undang-Undang nomor 28 Tahun 2009, PPPABTAP dipecah menjadi dua
jenis pajak, yaitu Pajak Air Permukaan dan Pajak Air Bawah Tanah; dimana Pajak
Air Permukaan dimasukkan sebagai pajak provinsi sedangkan Pajak Air Bawah Tanah
menjadi pajak kabupaten/kota.
Pengenaan
Pajak Air Permukaan tidak mutlak ada pada seluruh daerah provinsi yang ada di
Indonesia. Hal ini berkaitan dengan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah
provinsi untuk mengenakan atau tidak mengenakan suatu jenis pajak provinsi.
Karena itu untuk dapat dipungut pada suatu daerah provinsi, maka pemerintah
daerah harus terlebih dahulu menerbitkan
Peraturan Daerah tentang Pajak Air Permukaan yang akan menjadi landasan hukum
operasional dalam teknis pelaksanaan pengenaan dan pemungutan Pajak Air
Permukaan di daerah provinsi yang bersangkutan.
Untuk
mencegah kevakuman hukum dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 pada tanggal 1 Januari 2010, pemungutan Pajak Air Permukaan pada suatu
provinsi masih dapat dilakukan meneruskan pemungutan PPPBATAP yang telah ada
sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 pasal 180 ayat 1 yang
menyatakan bahwa peraturan daerah tentang pajak daerah mengenai jenis pajak
provinsi masih tetap berlaku untuk jangka waktu dua tahun sebelum diberkakukannya peraturan daerah yang baru
berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009. Hanya saja dalam dua tahun sejak
dberlakukannyaUndang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 diharapkan pemerintah provinsi
yang ingin memungut Pajak Air Permukaan harus telah menetapkan peraturan daerah
tentang Pajak Air Permukaan sebagai dasar hukum pemungutan Pajak Air Permukaan
pada provinsi tersebut.
2.3.2. Objek Pajak Air Permukaan
Objek Pajak Air Permukaaan adalah pengambilan
dan atau pemanfaatan air permukaan. Pengambilan dan atau pemanfaata air
permukaan adalah pengambilan dan atau pemanfaatan air permukaan yang digunakan
oleh orang pribadi atau badan untuk berbagai macam keperluan, antara lain
konsumsi
perusahaan, perkantoran, dan rumah tangga.
2.3.3. Bukan Objek Pajak Air Permukaan
Bukan
objek Pajak Air Permukaan menurut Peraturan Daerah Jawa Barat Nomor 13 Tahun 2011 Pasal 51 ayat
2 tentang Pajak Daerah, yaitu:
1) Pengambilan
dan/atau pemanfaatan air permukaan untuk keperluan dasar rumah tangga
2) Pengambilan
dan/atau pemanfataan air untuk
kepentingan pengairan pertanian
dan perikanan rakyat
3) Pengambilan
dan/atau pemanfaatan pemanfaatan air permukaan oleh pemerintah dan Pemerintah Daerah
4) Pengambilan
dan/atau pemanfaatan air permukaan untuk keperluan peribadatan, penanggulangan bahaya
kebakaran, penelitian serta penyelidikan
yang tidak menimbulkan kerusakan atas sumber air dan lingkungannya atau bangunan pengairan
beserta tanah turutannya.
2.3.4. Subjek Pajak dan Wajib Pajak Air Permukaan
Subjek
Pajak Air Permukaan menurut Peraturan
Daerah Jawa Barat Nomor 13 Tahun 2011
Pasal 52 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, adalah orang pribadi atau
Badan yang dapat melakukan pengambilan
dan/atau air permukaan.
Pajak
Air Permukaan menurut Marihot Pahala
Siahaan (2011:473),
2.3.5. Dasar Pengenaan Pajak Air Permukaan
Dasar
pengenaan Pajak Air Permukaan menurut
Peraturan Daerah Jawa Barat Nomor
13 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Pasal 53 sebagai
berikut:
1) Dasar
Pengenaan Pajak Air Permukaan adalah Nilai Perolehan Air Permukaan.
2) Perolehan
Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dinyatakan
dalam rupiah yang dihitung dengan mempertimbangkan
sebagian atau seluruh faktor-faktor berikut :
sebagian atau seluruh faktor-faktor berikut :
a. Jenis sumber air permukaan
b. Lokasi sumber air permukaan
c. Tujuan pengambilan dan pemanfaatan air permukaan
d. Volume air permukaan yang diambil dan dimanfaatkan
e. Kualitas air permukaan
f. Luas areal tempat pengambilan dan pemanfaatan air
permukaan
g. Musim pengambilan dan pemanfaatan air permukaan
h. Tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh
pengambilan dan pemanfaatan air permukaan
3) Penghitungan
Nilai Perolehan Air (NPA) dilakukan oleh Dinas Teknis
4) Tata
cara penghitungan Nilai Perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan
dengan Peraturan Gubernur.
2.3.6. Tarif Pajak Air Permukaan
Tarif Pajak Air Permukaan menurut
Undang-undang No. 28 Tahun 2009 Pasal 24 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (tiga puluh persen).
Berdasarkan Perda Jawa Barat tentang
Pajak Daerah, tarif Pajak Air Permukaan sebesar 10%.
2.3.7. Perhitungan Pajak Air Permukaan
Cara
untuk menghitung pajak Air Permukaan menurut Marihot P Siahaan (2011:475),
adalah:
Pajak Terutang = Tarif Pajak x
Dasar Pengenaan Pajak
= Tarif Pajak x
Nilai Perolehan Air Permukaan
|
2.3.8. Penghapusan atau Pengurangan Sanksi
Administrasi
Menurut
Marihot Pahala (2011:484), atas permohonan wajib pajak atau karena jabatannya,
bupati/walikota dapat membetulkan SKPD, SKPDKB, SKPKBT atau STPD, SKPDN atau SKPDLB yang dalam
penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan atau kesalahan hitung dan atau
kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan daerah. Selain itu bupati/walikota dapat:
1) Mengurangkan
atau menghapuskan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan kenaikan pajak
yang terutang menurut peraturan perundang-
undangan perpajakan daerah, dalam hal ini sanksi tersebut dikenakan
karena kekhilafan wajib pajak atau bukan karena kesalahannya;
2) Mengurangakan
atau membatalkan SKPD, SKPDKB, SKPDKBT atau, STPD, SKPDN atau SKPDLB yang tidak
benar;
3) Mengurangkan
atau membatalkan STPD;
4) Membatalkan
hasil pemeriksaan atau ketetapan pajak yang dilaksanakan atau diterbitkan tidak
sesuai dengan tata cara yang ditentukan;
5) Mengurangkan
ketetapan pajak terutang berdasarkan pertimbangan kemampuan membayar wajib pajak atau
kondisi tertentu objek pajak.
2.4 Keberatan
dan Banding
Menurut Azhari (2004:136), Wajib
Pajak dapat mengajukan keberatan kepada bupati/walikota atas SKPD, SKPDKB,
SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN.
Permohonan keberatan harus
disampaikan secara tertulis paling lama 3 bulan sejak tanggal SKPD, SKPDKB,
SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN diterima oleh Wajib Pajak kecuali apabila Wajib Pajak
dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan
diluar kekuasaannya.
Walikota/bupati dalam jangka waktu
paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat permohonan keberatan
diterima, sudah harus memberikan keputusan. Apabila setelah lewat waktu 12 (dua
belas) bulan bupati/walikota tidak menberikan keputusan, maka permohonan
keberatan dianggap dikabulkan. Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban
membayar pajak.
Wajib Pajak dapat mengajukan banding
kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak
dalam jangka waktu 3 (tiga bulan ) setelah diterimanya keputusan keberatan.
Pengajuan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak. Apabila pengajuan
keberatan atau banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya kelebihan pembayaran
pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen)
sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
Bupati/walikota atau pejabat yang
ditunjuk berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan daerah dan tujuan lain dalam rangka melaksanakan peraturan
daerah tentang Pajak Parkir. Pelaksanaan pemeriksaan dilaksanakan oleh petugas yang ditunjuk oleh
bupati/walikota atau pejabat yang berwenang.
2.4.1. Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak
Menurut Darwin (2010:188),
pengembalian kelebihan pembayaran pajak daerah maupun retribusi daerah
sesungguhnya sama saja dengan pajak-pajak lain, hanya saja untuk pajak daerah
dan retribusi daerah harus diajukan kepada Kepala Daerah.
Kepala
Daerah dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak diterimanya permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak daerah dari Wajib Pajak harus
memberikan keputusan. Apabila waktu 12 bulan terlampaui edan Kepala Daerah
tidak memberi keputusan maka permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
dianggap dikabulkan. Konsekwensinya adalah bahwa dalam waktu paling lama satu
bulan setelah 12 bulan Kepala Daerah harus menerbitkan Surat Ketetapan Pajak
Daerah Lebih Bayar dan segera mengirimkannya kepada Wajib Pajak.
Apabila Wajib Pajak mermpunyai utang
pajak, kelebihan pembayaran pajak langsung diperhitungkan untuk melunasi
terlebih dahulu utang pajak. Pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan
dalam jangka waktu paling lama 2 bulan sejak diterbitkannya Surat Ketetapan
Pajak Daerah Lebih Bayar. Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak
daerah dilakukan setelah jangka waktu 2 bulan, Kepala Daerah memberikan imbalan
bunga 2% sebulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran pajak
daerah.
2.4.2. Bagi Hasil Pajak dan Biaya Pemungutan Pajak Air Permukaan
Menurut
Marihot P Siahaan (2011:490), bagi hasil pajak dan biaya pemungutan pajak:
1)
Bagi Hasil Pajak
Hasil
penerimaan Pajak Air Permukaan merupakan pendapatan daerah yang harus
disetorkan seluruhnya ke kas daerah kabupaten/kota. Hasil penerimaan Pajak Air
Permukaan sebagian diperuntukkan bagi daerah kabupaten/kota di wilayah provinsi
tempat pemungutan Pajak Air Permukaan. Pembagian hasil penerimaan Pajak Air
Permukaan ditetapkan dalam peraturan daerah provinsi,dengan perimbangan :
a. 50%
menjadi bagia provinsi
b. 50%
diserahkan kepada kabupaten/kota
2) Biaya
Pemungutan Pajak
Dalam rangka pelaksanaan kegiatan pemungutan
dan pengelolaan Pajak Air Permukaan, dapat diberikan biaya pemungutan, misalnya
sebesar lima persen dari hasil penerimaan pajak yang telah disetorkan ke kas
daerah provinsi. Biaya pemungutan adalah biaya yang diberikan kepada aparat
penunjang dalam rangka kegiatan pemungutan. Alokasi dan penggunaan biaya pemungutan
Pajak Air Permukaan ditetapkan dengan keputusan gubernur dengan berpedoman
kepada ketentuan yang berlaku. Pembahasan tentang bagi hasil pajak dan biaya
pemungutan adalah sebagaimana yang telah dibahas pada Bab 2 Ketentuan Umum
Pajak Daerah.
2.5 Kadaluarsa
Menurut
Darwin (2010:18), hak untuk melakukan
penagihan pajak daerah, kadaluarsa setelah melampaui jangka waktu 5 tahun sejak
saat terutangnya pajak daerah, kecuali apabila Wajib Pajak daerah melakukan
tindak pidana di bidang perpajakan daerah. Kadaluarsa penagihan pajak daerah
tertanggu apabila:
1) Diterbitkan
Surat Teguran Pajak Daerah atau Surat Paksa. Dalam hal diterbitkan Surat
Teguran dan Surat Paksa kadaluarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian
Surat Paksa tersebut;
2) Ada
pengakuan utang pajak daearh dari Wajib Pajak Daerah baik langsung maupun tidak
langsung. Yang dimaksud dengan pengakuan utang pajak secara langsung adalah
Wajib Pajak daerah dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang pajak
daerah dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah. Pengakuan pajak daerah
tidak langsung dapat diketahi dari pengakuan permohonan angsuran atau penundaan
pembayaran dan permohonan kebaratan oleh Wajib Pajak.
2.5.1. Sanksi Administrasi dan Ketentuan Pidana
Menurut Azhari (2004:140), bupati/walikota
dapat menutup dan mencabut ijin usaha bagi pengusaha apabila:
1) Melalaikan
dan atau selama 2 (dua) bualn berturut-turut tidak membayar pajak;
2) Dengan
sengaja memungut pajak dengan tidak menggunakan tanda bukti yang sah, atau
memungut pajak tidak disetorkan ke Kas Daearh;
3) Tidak
melayani dengan baik petugas dan atau tanpa dasar alasan yang sah menolak untuk
diadakan tindakan penungguan, pemeriksaan dan melawan petugas pemeriksa yang sah
yang dilengkapi dengan surat tugas bupati/walikota atau pejabat yang ditunjuk.
Wajib Pajak yang karena kealpaannya
tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap
atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuanagn daerah
dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda
paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak yang terutang.
Wajib Pajak yang dengan sengaja
tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap
atau melampirkan keterangan lain yang tidak benar atau tidak lengkap atau
melampirkan keterangan lain yang tidak benar sehingga merugikan keuangan daerah
dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda 4
(empat) kali jumalh pajak yang terutang.
2.5.2. Upaya Peningkatan Pajak
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia
(2002:1250), pengertian upaya adalah usaha, ikhtiar (untuk mencapai suatu
maksud, memecahkan persoalan, mencari jalan keluar dan sebagainya). Menurut kamus
besar Bahasa Indonesia (2002:1198) Peningkatan berasal dari kata tingkat yaitu
proses, cara, perbuatan meningkatkan (usaha, kegiatan dan sebagainya).
Upaya meningkatkan penerimaan pajak bisa
dilakukan dengan cara melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi
menurut Abdul Halim (2004:147) adalah suatu usaha yang dilakukan oleh
pemerintah kota/kabupatem untuk meningkatkan penerimaan pajak daerah.
Intensifikasi menurut Adrian Sutedi
(2009:161) dapat dilakukan dengan cara:
1) Memperluas
basis penerimaan
Tindakan
yang dilakukan untuk memperluas basis penerimaan yang dapat dipungut oleh
daerah, yang dalam perhitungan ekonomi dianggap potensial, antara lain yaitu
mengidentifikasi pembayar pajak baru/potensial dan jumlah pembayar pajak,
memperbaiki basis data objek, memperbaiki penilaian, menghitung kapasitas
penerimaan dari setiap pungutan.
2) Memperkuat
proses pemungutan
Upaya
yang dilakukan dalam memperkuat proses pemungutan, antara lain mempercepat
penyusunan Perda, mengubah tarif, khususnya tarif retribusi dan peningkatan
SDM.
3) Meningkatkan
pengawasan
Hal
ini dapat ditingkatkan yaitu antara lain dengan melakukan pemeriksaan secara
dadakan dan berkala, memperbaiki proses pengawasan, menerapkan sanksi terhadap
penunggak pajak dan sanksi terhadap fiskus, serta meningkatkan pembayaran pajak
dan pelayanan yang diberikan daerah.
4) Meningkatkan
efisiensi administrasi dan menekan biaya pemungutan
Tindakan
yang dilakukan oleh daerah yaitu antara lain memperbaiki prosedur administrasi
pajak melalui penyederhanaan administrasi pajak, meningkatkan efisiensi
pemungutan dari setiap jenis pemungutan.
5) Meningkatkan
kapasitas penerimaan melalui perencanaan yang lebih baik .
Hal
ini dapat dilakukan dengan meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait di daerah.
Ekstensifikasi
menurut Adrian Sutedi (2009:161) perpajakan juga dapat dilakukan melalui
kebijakan Pemerintah untuk memberikan kewenangan perpajakan yang lebih besar
kepada daerah pada masa mendatang. Untuk itu,
perlu adanya perubahan dalam sistem perpajakan di Indonesia sendiri
melalui sistem pembagian langsung atau beberapa basis pajak Pemerintah Pusat yang
lebih dipungut oleh daerah.
BAB
III
METODE PENELITIAN
3.1 Gambaran
Umum Lokasi Penelitian
3.1.1. Sejarah Singkat
Dinas
Pendapatan Provinsi Jawa Barat secara historis diawali dengan unit kerja yang
bertugas untuk melakukan pengurusan Perpajakan dan Pendapatan Daerah, sebelum
tahun 1971 ditangani oleh Biro Pendapatan dan Perpajakan yang berada dalam
lingkungan bidang Administrasi Bidang Keuangan
Berdasarkan
SK Gubernur Provinsi Jawa Barat Nomor 219/PO/V/OM/SK/71 tanggal 25 September
1971 dibentuk Jawatan Perpajakan dan Pendapatan Provinsi Jawa Barat. Jawatan
ini secara efektif dimulai Tahun Anggaran 1972/1973, dengan dikeluarkannnya Surat
Keputusan Gubernur tersebut, untuk pertama kalinya pengurusan Perpajakan dan
Pendapatan Daerah ditangani secara terpisah dari lingkungan Keuangan.
Dengan
dikeluarkannya Undang- Undang Nomor. 5 Tahun 1974 tentang Pokok- Pokok
Pemerintahan di Daerah, Nomenklatur Jawatan Perpajakan dan Pendapatan Provinsi
Daerah Tingkat I Jawa Barat, diganti menjadi Dinas Perpajakan dan Pendapatan
Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
Sejak
Tahun 1970 kantor Dinas Perpajakan dan Pendapatan Provinsi Daerah Tingkat I
Jawa Barat bertempat di Jln. Ir. H. Juanda 37 Bandung. Tahun 1984 Kantor Dinas
Pendapatan Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat pindah ke Gedung Baru yang
berlokasi di Jln. Soekarno Hatta no. 528 Bandung.
Sejak
dibentuknya Dinas Pendapatan Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, berdasarkan
Peraturan Daerah Nomor : 7/DP040/1978 Tanggal 30 Agustus 1978 Tentang Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pendapatan Provinsi Daerah Tingkat I Jawa
Barat, mendapat pengesahan Menteri Dalam Negeri dengan Surat Keputusan No. : Pem.10/69/40.655
tanggal 16 Oktober 1979, nomenklatur Dinas Perpajakan dan Pendapatan Provinsi
Daerah Tingkat I Jawa Barat tidak digunakan lagi.
Pembentukan
Dinas Pendapatan Daerah berpedoman pada Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri
Nomor 363 Tahun 1977 Tanggan 4 November 1977 tentang pedoman Pembentukan
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah serta Surat Keputusan Menteri
Dalam Negeri No. KUPD 7/7/39126 Tanggal 31 Maret 1978 Tentang Susunan
Organisasi Tata Kerja Dinas Pendapatan Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat
didasarkan pada Peraturan Daerah Nomor 7/PD-010/1978 Tanggal 30 Agustus yang
kemudian diubah untuk pertama kali dengan Peraturan Daerah Nomor I Tahun 1990
tanggal 24 Januari 1990.
Berdasarkan
Undang- Undang Nomor 11 Tahun 1950, tentang Pembentukan Provinsi Daerah Tingkat
I Jawa Barat (Berita Negara tanggal 4 Juli 1950), wilayah kerja Pemerintah
Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, meliputi wilayah Banten, wilayah II
Banten, wilayah III Cirebon, wilayah IV Purwakarta, dan wilayah IV Priangan.
Perkembangan selanjutnya sejak ditetapkan Undang- Undang Nomor : 23 Tahun 2000,
tentang Pembentukan Provinsi Banten, maka wilayah kerja Pembantu Gubernur
Banten terpisah dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Begitu pula Cabang Dinas
Pendapatan Daerah Kabupaten/Kota yang berlokasi di wilayah Banten menjadi
Cabang Dinas Pendapatan Provinsi Banten.
Lingkungan
Dinas Pendapatan Provinsi Jawa Barat, secara otomatis yang asalnya membawahi 25
Cabang Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten/Kota, maka sejak terbentuknya Provinsi
Banten, menjadi 20 Cabang Dinas Pendapatan.
Dengan
diberlakukannya Undang- Undang Nomor 22 tahun1999 tentang Pemerintahan Daerah
dan diikuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor : 84 tahun 2000 tentang Pedoman
Organisasi Perangkat Daerah ( Lembaga Negara tahun 2000 nomor 165), maka
Struktur Organiasi dan Tata Kerja (SOTK) Dinas/ Badan/ Lembaga di lingkungan
Pemerintahan Provinsi Jawa Barat telah diubah berdasar kepada Peraturan Daerah
Provinsi Jawa Barat no. 21 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas
Daerah Provinsi Jawa Barat.
Selanjutnya
dalam melaksanakan Tugas Pokok dan Fungsinya, Dinas Pendapatan Provinsi Jawa
Barat sesuai dengan Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) yang baru,
dibantu oleh Sekretariat, Bidang Perencanaan dan Pengembangan, Bidang Pajak,
Bidang Non Pajak dan Bidang Pengendalian dan Pembinaan. Sedangkan dalam
pelaksanaan tugas di lapangan, operasionalnya dilaksanakan oleh 31 (tiga puluh
satu) Unit Pelayanan Pendapatan Daerah Provinsi yang tersebar di Kabupaten/Kota
se- Jawa Barat.
UPP
Lingkungan Dinas di Jawa Barat Terdiri dari:
1)
UPP Wilayah
Pelayanan I (Depok)
2)
UPP Wilayah
Pelayanan II (Cibinong)
3)
UPP Wilayah
Pelayanan III (Bogor)
4)
UPP Wilayah
Pelayanan IV (Sukabumi)
5)
UPP Wilayah
Pelayanan V (Cibadak)
6)
UPP Wilayah
Pelayanan VI (Pelabuhan Ratu)
7)
UPP Wilayah
Pelayanan VII (Cianjur)
8)
UPP Wilayah
Pelayanan VIII (Bekasi)
9)
UPP Wilayah
Pelayanan IX (Cikarang)
10) UPP Wilayah Pelayanan X (Karawang)
11) UPP Wilayah Pelayanan XI (Purwakata)
12) UPP Wilayah Pelayanan XII (Subang)
13) UPP Wilayah Pelayanan XIII (Cirebon)
14) UPP Wilayah Pelayanan XIV (Sumber)
15) UPP Wilayah Pelayanan XV (Ciledug)
16) UPP Wilayah Pelayanan XVI (Indramayu)
17) UPP Wilayah Pelayanan XVII (Haurgeulis)
18) UPP Wilayah Pelayanan XVIII (Kuningan)
19) UPP Wilayah Pelayanan XIX (Majalengka)
20) UPP Wilayah Pelayanan XX (Bandung Barat)
21) UPP Wilayah Pelayanan XXI (Bandung Tengah)
22) UPP Wilayah Pelayanan XXII (Bandung Timur)
23) UPP Wilayah Pelayanan XXIII (Padalarang)
24) UPP Wilayah Pelayanan XXIV (Rancaekek)
25) UPP Wilayah Pelayanan XXV (Sumedang)
26) UPP Wilayah Pelayanan XXVI (Garut)
27) UPP Wilayah Pelayanan XXVII (Tasikmalaya)
28) UPP Wilayah Pelayanan XXVIII (Sukaraja)
29) UPP Wilayah Pelayanan XXIX (Ciamis)
30) UPP Wilayah Pelayanan XXX (Pangandaran)
31) UPP Wilayah Pelayanan XXXI (Cimahi)
3.1.2. Visi dan Misi UPPD
1.
Visi
Sebagai
pengelola pendapatan asli daerah (PAD) yang amanah dengan berorientasi kepada
kepuasan pelayanan publik.
2.
Misi
a.
Meningkatkan
penerimaan pendapatan asli daerah (PAD)
b.
Meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat
c.
Memantapkan kinerja
Sumber Daya Manusia (SDM)
d.
Menjalin jejaring
kerja dan koordinasi secara sinergis di bidang pendapatan asli daerah.
STRUKTUR ORGANISASI
DINAS
PENDAPATAN CABANG PELAYANAN
DISPENDA
KOTA DEPOK I
Gambar
3.1
3.2 Deskripsi
Jabatan:
- Kepala UPP
Kepala
UPP mempunyai tugas pokok memimpin, mengkoordinasikan dan mengendalikan
pelaksanaan kegiatan pelayanan pendapatan daerah.
Dalam
melaksanakan tugas pokok, kepala UPP mempunyai fungsi:
1)
Pelaksanaan teknis
operasional di bidang pendapatan daerah
2)
Penyelenggaraan
pelayanan umum di bidang pendapatan daerah
- Rincian tugas kepala UPP adalah sebagai berikut:
1)
Memimpin, mengatur,
mengendalikan seluruh pelaksanaan kegiatan UPP
2)
Menetapkan rencana
kerja operasional tahunan sesuai dengan kebijakan teknis operasional dinas.
3)
Memberika saran,
pertimbangan dan atau informasi kepada kepala dinas sebagai bahan kebijakan.
4)
Meyelenggarakan
pengaturan pelayanan umum bidang PKB/BBNB pajak non PKB/BBNKB dan Non Pajak
serta pendapatan lain yang menjadi kewenangan provinsi.
5)
Melaksanakan
koordinasi dengan instansi terkait
6)
Menyelenggarakan
evaluasi dan pelaporan kegiatan UPP.
3.2.1. Sub.bagian Tata Usaha
Sub.bagian
tata usaha mempunyai tugas pokok pelaksanaan penyusunan rencana kerja,
pengelolaan administrasi kepegawaian, keuangan, pelengkapan, umum dan
pelaporan.
- Dalam
melaksanakan tugas pokok, Subbagian tata usaha mempunyai fungsi:
a.
Pelaksanaan
penyusunan rencana kerja UPP
b.
Pelaksanaan
pengelolaan administrasi kepegawaian, keuanagn, perlengkapan dan umum.
- Rincian
tugas Subbagian Tata Usaha adalah sebagai berikut:
a.
Melaksanakan
kegiatan dalam bidang ketatausahaan
b.
Menyiapkan dan
menyusun rencana anggaran
c.
Melaksanakan
pengelolaan di bidang kepegawaian, keuangan, perlengkapan, dan umum di
lingkungan UPP
d.
Memberikan saran
atau pertimbangan kepada kepal UPP mengenai hal-hal berkaitan dengan
pelaksanaan tugas-tugas kedinasan
e.
Mengumpulkan dan
mengolah bahan/laporan di bidang administrasi serta mengajukan pemecahan
masalah da pertimbangannya kepada kepala UPP untuk di jadikan bahan
pertimbangan lebih lanjut
f.
Melaksanakan
pengurusan rumah tangga UPP
g.
Melaksanakan
koordinasi dengan instalasi terkait
h.
Kelompok Jabatan
Fungsional
- Rincian
tugas Kelompok Jabatan Fungsional di tetapkan berdasarkan peraturan
perundang- undangan yang berlaku
- Setiap
Kelompok Jabatan Fungsional dikoordinasikan oleh seorang tenaga fungsional
profesional yang di tunjuk di antara tenaga fungsional yang berada di
lingkungan UPP dan Kepala UPP.
3.2.2. Seksi PKB/BBNKB
- Seksi
PKB/BBNKB mempunyai tugas pokok melaksankan pelaksanaan di bidang pungutan
PKB/BBNKB.
- Dalam
melaksanakan tugas pokok, seksi PKB/BBNKB mempunyai fungsi:
a.
Pelaksanaan
pelayanan di bidang pungutan PKB/BBNKB melalui proses pemungutan yang di
dasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
b.
Pelaksanaan
kordinasi tugas pelayanan di bidang pungutan PKB/BBNKB
3.3 Pengendalian
tugas pelayanan di bidang pungutan PKB/BBNKB.
3.3.1. Rincian tugas seksi PKB/BBNKB
1.
Melaksanakan
administrasi pendaftaran dan pendataan, penelitian, perhitungan dan penetapan,
penagihan pembayaran dan penyetoran di bidang pungutan PKB/BBNKB
2.
Melaksanakan
pelayanan terhadap permohonan keberatan yang di ajukan oleh para wajin pajak
mengenai besarnya PKB/BBNKB dan tata cara pelunasan pembayaran PKB/BBNKB.
3.
Menyusun rumusan
guna penyelesaian lebih lanjut terhadap tunggakan PKB/BBNKB dan atas keberatan
yang di ajukan oleh para wajib pajak.
4.
Melaksanakan
koordinasi dengan instansi terkait
5.
Melaksanakan
evaluasi dan laporan
3.3.2 Seksi Pajak Non PKB/BBNKB
3.3.3. Seksi pajak Non PKB/BBNKB mempunyai tugas pokok melaksanakan
pelayanan pajak Non PKB/BBNKB
Berikut
adalah tugas pokok pelaksanaan pelayanan pajak Non PKB/BBNKB:
a.
Dalam melaksanakan
tugas pokok, seksi pajak Non PKB/BBNKB mempunyai fungsi:
b.
Pelaksanaan
pelayanan di bidang pajak Non PKB/BBNKB Melalui proses pemungutan yang di
dasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
c.
Pengkoordinasian
pelaksanaan tugas pelayanan di bidang Pajak Non PKB/BBNKB
- Pengendalian
tugas pelayanan di bidang pajak Non PKB/BBNKB
3.3.4 Rincian tugas seksi pajak Non Pajak PKB/BBNBK
a.
Melaksanakan
administrasi pendaftaran dan pendataan, penelitian perhitungan dan penetapan,
penagihan, pembayaran dan penyetoran di bidang pungutan pajak Non PKB/BBNKB
b.
Melaksanakan
pelayanan terhadap permohonan keberatan yang di ajukan oleh para wajib pajak
mengenai besarnya pajak dan tata cara pelunasan pembayaran Pajak Non PKB/BBNKB
c.
Menyusun rumusan
guna pelaksanaan penyelesain lebih lanjut terhadap tunggakan Pajak Non
PKB/BBNKB dan atas keberatan yang di ajukan oleh para wajib pajak Non PKB/BBNKB
d.
Melaksanakan
kordinasi dengan instalasi terkait
e.
Melaksanakan
evaluasi dan pelaporan
3.3.5 Seksi Non Pajak
- Seksi
Non Pajak mempunyai tugas pokok melaksanakan pelayanan di bidang pungutan
Non Pajak.Untuk melaksanakan tugas pokok, seksi Non Pajak mempunyai fungsi:
a.
Pelaksanaan
administrasi pelayanandi bidang pungutan retribusi daerah melalui proses
pemungutan yang di dasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku
b.
Pelaksanaan
monitoring dalam bidang penerimaan pendapatan lain-lain yang di kelola oleh
dinas/ instansi penghasil di lingkungan
propinsi maupun hasil penerimaan dari pemerintah pusat
c.
Pengendalian
pelayanan bidang pungutan retribusi daerah dan pungutan Non Pajak.
- Rincian
tugas Seksi Non Pajak
a.
Melaksanakan
administrasi penagihan, pembayaran dan penyetoran di bidang pungutan tertentu
dalam lingkup pungutan Non Pajak.
b.
Melaksanakan
pelayanan terhadap permohonan keberatan yang di ajukan oleh para wajib bayar
mengenai besarnya pungutan dan tata cara pelunasan pembayaran pungutan tertentu
dalam lingkup Non Pajak.
c.
Menyusun rumusan
guna pelaksanaan penyelesaian lebih lanjut terhadap tunggakan pungutan non
pajak dan atas keberatan yang di ajukan oleh para wajib bayar sebagaimana
dimaksud pada bagian b di atas.
d.
Melaksanakan
monitoring dalam bidang penerimaan pendapatan lain-lain yang dikelola oleh
dinas/ instansi penghasil di lingkunagn propinsi maupun hasil penerimaan dari
pemerintah pusat.
e.
Melaksanakan
koordinasi dengan instansi terkait.
f.
Melaksanakan
evaluasi dan pelaporan
3.4 Instalasi
Instalasi
mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan operasional UPP di bidang
pelayanan pendapatan daerah di wilayah kerja atau wilayah pelayanan tertentu.
Untuk
menyelenggarakan tugas pokok, adapun fungsi instalasi adalah:
a.
Pelaksanaan
penyusunan rencana kerja instalasi
b.
Pelaksanaan
administrasi pendaftaran dan pendataan, penelitian perhitungan dan penetapan,
pengalihan, pengalihan, pembayaran dan penyetoran di bidang pungutan Pajak
PKB/BBNKB. Pajak Non PKB/BBNKB dan Non Pajak
c.
Pelaksanaan
evaluasi dan pelaporan instalasi
3.5 Metode
pengumpulan data/ variabel
Untuk
mendapatkan data serta informasi yang akurat dan lengkap sebagai dasar dari
penulisan ilmiah ini, maka penulis menggunakan metode penelitian :
3.5.1. Riset
Pustaka (Library Research)
Yaitu
metode pengumpulan data yang bersumber dari buku-buku, dokumen-dokumen dan lain
sebagainya yang berhubungan langsung dengan masalah yang menjadi penelitian.
3.5.2. Riset Lapangan (Field Research)
Penelitian
ini melakukan pengumpulan data dengan cara :
- Wawancara
Yaitu
pengumpulan data dengan melakukan tanya jawab langsung kepada pihak-pihak yang
terkait dengan masalah pemungutan pajak pengambilan dan pemanfaatan air
permukaan.
- Riset Lapangan
Yaitu
pengumpulan data dengan
melakukan pencatatan terhadap data-data yang dibutuhkan dan melakukan
pengamatan terhadap situasi serta kondisi yang dihadapi oleh Dinas Pendapatan
Daerah (DISPENDA) Provinsi Jawa Barat, UUP. Daerah Provinsi Wiayah Depok I pada
waktu penelitian berhubungan dengan masalah mekanisme pemungutan pajak pengambilan
dan pemanfaatan air permukaan.
DAFTAR PUSTAKA
Abut,
Hilarius, Perpajakan, Jakarta: Diadit Media Jakarta, 2002
Darwin,
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Jakarta: Mitra Wacana Media, 2010
Mardiasmo.
Perpajakan, Yogyakarta: Andi, 2009
Anshari, Setia. Pengantar
Hukum Pajak, Malang: Bayumedia Publishing, 2006
Pudyatmoko, Sri,
Pengantar Hukum Pajak, Yogyakarta:
Andi, 2009
Rahman, Abdul, Administrasi Perpajakan, Bandung: Nuansa, 2010
Samudra, A.
Azhari, Perpajakan di Indonesia Keuangan,
Pajak dan Retribusi. Jakarta: Hecca Publising, 2005
Siahaan, Pahala,
Marihot, Pajak dan Retribusi Daerah, Jakarta: Rajawali Pers, 2011
Suandy, Erly, Hukum
Pajak, Jakarta: Salemba Empat, 2010
Sumyar,
Dasar-Dasaar Hukum Pajak dan Perpajakan, Yogyakarta: Andi, 2004
Peraturan Perundangan:
Undang-undang
Nomor. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Peraturan
Gubernur Nomor 17 Tahun 2001 tentang Tupoksi Unit di lingkungan Dispenda
Provinsi Jawa Barat terkait dengan SOP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar