Senin, 22 Oktober 2012

ICW Beberkan Kelemahan KPK Dalam Kasus Bachtiar Chamsyah ( BI 10-10-12)


JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Mantan Menteri Sosial (Mensos) Bachtiar Chamsyah yang divonis bersalah dalam kasus pengadaan mesin jahit, pengadaan sapi potong, dan pengadaan kain sarung, akhirnya menghirup udara bebas. Hal ini menyusul masa tahanannya habis. Sedangkan di sisi lain, putusan dalam kasus ini juga belum memiliki kekuatan hukum yang tetap (inkracht).
“Putusan pidana penjara selama satu tahun delapan bulan, sesungguhnya jauh sekali dari tuntutan JPU yang berharap hakim menjatuhkan hukuman tiga tahun penjara bagi terdakwa dan denda Rp 100 juta. Terdapat beberapa pengabaian fakta-fakta persidangan yang semestinya memberatkan Terdakwa tetapi kemudian hakim mengabaikannya. Disisi lain, dakwaan penuntut umum juga memiliki kelemahan yang penting untuk dicermati,” kata Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Febri Diansyah dalam jumpa pers di Kantor ICW, Jakarta, Selasa (31/1).
Menurut dia, berdasarkan hasil eksaminasi publik yang dilakukan tim eksaminator yang terdiri dari berbagai unsur diantaranya akademisi, praktisi dan aktivisi antikorupsi menemukan beberapa kelemahan dalam kasus ini.

Kelemahan tersebut, lanjut Febri, antara lain menyangkut dakwaan penuntut umum. JPU menuntut Terdakwa dengan pilihan sanksi yang ringan dibandingkan ancaman hukuman maksimal 20 tahun yang diatur dalam Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31/1999 jo Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP. Dakwaan dan tuntutan JPU menjadi tanda-tanya besar, karena tidak menyertai denda mengganti kerugian negara. “Hal itu jauh dari semangat pemberantasan korupsi yang juga mengupayakan membuat jera pelaku korupsi,” jelasnya.

Ditambahkan, fakta persidangan menyebutkan terdapatnya aliran dana ke Yayasan Cendikia, milik terdakwa, berdasarkan keterangan saksi-saksi. Namun, penuntut umum memilih tidak mengembangkan keterangan saksi tersebut untuk membuktikan bahwa terdakwa turut menikmati hasil korupsi. Akibatnya majelis hakim memutuskan bahwa terdakwa tidak ikut menikmati hasil korupsi;

Kelemahan kedua, yakni putusan hakim. Pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa terdakwa tidak menikmati uang hasil pidana korupsi, sehingga terdakwa harus dibebaskan dari unsur Pasal 18 UU Nomor 31/1999 jo UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi menjadi titik lemah dalam pertimbangan hakim.

Jika memerhatikan putusan, terdapat jumping conclussion dalam pertimbangan hakim yang tiba-tiba membuat kesimpulan bahwa terdakwa tidak menikmati uang hasil korupsi tanpa terlebih dahulu menghubungkan dengan fakta-fakta persidangan terkait aliran uang yang diterima orang-orang termasuk terdakwa.

Jumping conclussion yang mengabaikan bukti-bukti persidangan menyebabkan Terdakwa bebas dari unsur memperkaya diri sendiri sebagaimana diatur dalam pasal 2 jo Pasal 18 UU Nomor 31/1999 jo UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi.

“Fakta-fakta persidangan berupa keterangan saksi khususnya saksi Sularto dan Yusrizal diabaikan oleh majelis hakim, sehingga menyebabkan dakwaan pasal 18 tidak terbukti. Padahal berdasarkan keterangan saksi-saksi Sularto dan Yusrizal Terdakwa turut menikmati uang hasil korupsi,” tutur Febri.

Dengan demikian, imbuh dia, perbuatan Terdakwa yang berdiri sendiri-sendiri jelas-jelas merupakan beberapa kejahatan, menguntungkan yayasan Insan Cendikia, Musfar Azis, Iken Br Nasution, Toni Jaya Laksana, dan lainnya. Menggunakan kesempatan karena jabatan sebagai Mensos. Memerintahkan kepada Pimbapro agar memenangkan pihak tertentu dalam pengadaan mesin jahit bersumber dari APBN 2004, sapi potong 2004, kain sarung 2006-2008. Bertentangan dengan UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara dan Keppres 80/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa. “Hal inilah yang tidak dikejar jaksa,” tandas Febri.

Seperti diberitakan sebelumnya, Bachtiar Chamsyah didakwa melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31/1999 jo UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.

Dalam kasus yang disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta, ia kemudian terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindakan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya sebagai menteri atau pengguna anggaran (PA).

Dengan kekuasaan dari jabatannya, terdakwa memerintahkan atau mengarahkan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Pimpinan Bagian Proyek (Pimbagpro) untuk memenangkan pihak tertentu. Sehingga merugikan keuangan negara sebesar Rp 33,7 Milyar. Putusan ini kembali diperkuat Oleh Pengadilan Tinggi Tipikor DKI.

Sumber : http://www.beritahukum.com

Mobil Murah: Ramah Lingkungan atau Tambah Kemacetan? ( BI-10-10-12)


 Mobil seharga 80 hingga 90 juta rupiah bakal siap meluncur di jalanan-jalanan di Indonesia. Mobil ini merupakan gagasan pemerintah untuk mengusung program ramah lingkungan, green car. Direktur Jendral Industri Berbasis Teknologi Tinggi, Kementerian Perindustrian  IUBTT  Budi Darmadi  menyebutkan sedikitnya 300 ribu unit lebih yang akan disiapkan.
Staf  Khusus Menteri Perindustrian, Benny Soetrisno dan Anggota Komisi VI DPR, Lili Asdjudiredja sepakat menyatakan dukungannya  dengan proyek ini. Hanya saja, kata Lili,  Indonesia  harus lebih dulu memiliki industri dasar logam dan harus yang benar-benar kuat.
Lili dan Benny memprediksi jika industri mobil nasional sudah berjalan, mobil-mobil impor akan dapat disaingi. Menurut keduanya, Indonesia berpotensi cukup besar untuk menjadi negara produsen mobil murah,
Bagi Nursyamsi, pengamat otomotif yang  juga  tergabung di Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia GAIKINDO,  mengatakan, pemerintah belum mempunyai standar hitungan yang akurat untuk merealisasi proyek ini. Menurut dia, hal ini terlihat dari pemberian intensif produsen, terutama insentif fiskal berupa pemotongan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
“Kalau treatmentnya di PPnBM, tetap berlaku hal yang sama, sehingga tujuan untuk eco car tidak jelas, menjadi terdistorsi. Target 80 juta on the road tidak akan tercapai dengan PPnBM semata itu harus simultan dengan biaya balik nama dan seterusnya,” tambah Bagi.
Dewan Transportasi Kota menilai proyek mobil murah ini  justru akan menjadi penyumbang kemacetan yang baru. Ketua Dewan Tranpsortasi Kota, Azas Tigor Nainggolan mengatakan, program ini sangat kontradiksi antara bisnis dan upaya mengurangi kemacetan.
“Menurut saya walaupun itu mobil murah atau ramah lingkungan, kalau itu diperuntukkan untuk kendaraan pribadi, itu kontradiksi dengan kepentingan lingkungan. Kenapa kontradiksi, karena sampai sekarang Jakarta macet karena tingginya penggunaan mobil pribadi. Nanti akan berbondong-bondong orang akan membeli dan akan menambah kemacetan. Persoalan pencemaran lingkungan semakin tinggi karena kemacetan tersebut,” tegas Azas Tigor.
Namun pemerintah tidak merasa kehadiran mobil murah akan berpengaruh pada peningkatan kemacetan. Program ini diyakini mampu untuk meningkatkan perekomian masyarakat.
“Yang macet itu kan kota-kota besar saja, Jakarta, Surabaya dan Medan. Saya ingat, rakyat kita itu banyak yang perlu mobil, coba ada kan survey kepada pemilik sepeda motor, mereka akan berkata pak kalau ada uang kita nanti ganti mobil, supaya tidak kehujanan. Jadi ini menumbuhkan perekonomian,” kata Direktur Jendral Industri Berbasis Teknologi Tinggi, Kementerian Perindustrian, Budi Darmadi
Pengamat transportasi dari Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna berpendapat, proyek ini menunjukkan tidak adanya niat pemerintah untuk memperbaiki kondisi kemacetan.
“Ini sekali lagi menunjukkan ketidakberpihakan kebijakkan pemerintah terhadap transportasi massal. Ini pun menunjukkan tidak adanya koordinasi sektor pengembangan industri dang sektor infrastruktur terutama pembangunan jalan. Bentuk diskoordinasi ini menjadikan persoalan tidak pernah terurai bahkan jauh dari solusi.”
Yayat Supriyatna menambahkan, selama ini pemerintah selalu mengesampingkan program jangka panjang dengan hadirnya program jangka pendek. Padahal memperbaiki sistem tranportasi massal atau umum, serta memperbaiki infrastruktur jalan adalah program jangka panjang yang sangat membantu  mengatasi kemacetan. Bukan membuat program baru dengan memproduksi  mobil.

Solusi Alternatif Meminimalkan Aksi Tawuran Antar Pelajar (BI 10-10-12)



Perkelahian atau tawuran, sering terjadi di antara kalangan anak muda. Bahkan bukan hanya antar mahasiswa, tapi juga sudah melanda sampai ke kalangan siswa SMP dan SMU. 

Di kota besar seperti Jakarta, tawuran ini sering terjadi. Pada tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar di Jakarta. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat.

Perkelahian antar pelajar ini tentu saja merugikan banyak pihak. Paling tidak, ada empat kategori dampak negatif dari perkelahian pelajar. Pertama, pelajar dan keluarganya yang terlibat perkelahian sendiri, jelas mengalami dampak negatif pertama bila mengalami cedera atau bahkan tewas. Kedua, rusaknya fasilitas umum seperti kendaraan umum, halte dan fasilitas lainnya, serta fasilitas pribadi seperti kaca toko dan kendaraan. Ketiga, terganggunya proses belajar di sekolah. Terakhir, yang paling dikhawatirkan para pendidik adalah berkurangnya penghargaan siswa terhadap toleransi, perdamaian dan nilai-nilai hidup orang lain. Para pelaku tawuran itu belajar bahwa kekerasan adalah cara yang paling efektif untuk memecahkan masalah mereka. Akibat yang terakhir ini jelas memiliki konsekuensi jangka panjang terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat di Indonesia.

v  Langkah-langkah berikut ini mungkin dapat dilakukan sebagai solusi meminimalkan aksi tawuran antar pelajar :

·            Penggalakan tentang anti tawuran harus semakin sering dilakukan, bisa lewat media massa, media elektronik, sampai penyuluhan ke sekolah-sekolah.
·            Peran keluarga sangatlah penting bagi para pelajar yang dalam hal ini mereka masih memiliki sifat dan pemikiran yang sangat labil. Keluarga menjadi pendorong dan penyemangat untuk pelajar agar tidak melakukan hal-hal yang dapat merugikan dirinya sendiri, dalam kasus ini adalah tawuran. Lebih mendekatkan diri kepada keluarga akan membantu pelajar untuk mencari jati diri yang baik. Selain itu, orang tua wajib membimbing anak-anaknya yang masih berstatus pelajar untuk melakukan hal-hal yang positif dan berguna bagi dirinya sendiri. Jika hubungan antara orang tua dan anak terjalin dengan baik, maka tawuran pun dapat di minimalisir.
·            Pihak sekolah dan kepolisian harus berani memberikan hukuman tegas tanpa “pandang bulu” kesemua pihak yang terbukti sebagai pelaku tawuran.
·            Turunkan status atau peringkat sekolah, dari Sekolah Bertaraf Internasional menjadi Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Dari RSBI turun ke sekolah Standar Nasional. Dari Standar Nasional ke sekolah biasa. Dari Akreditas A turun ke B, lalu ke C.
·            Mengurangi kuota Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) Undangan secara bertahap hingga nol kepada sekolah yang “gemar” tawuran.
·            Universitas Negeri Favorit menolak (dengan memasukkan ke daftar hitam, black list) lulusan sekolah yang “gemar” tawuran untuk diterima ke dikampusnya.

sumber :

http://www.tribunnews.com/topics/tawuran-pelajar
http://edukasi.kompas.com/read/2012/10/02/11592356/Kompleksitas.Tawuran.Pelajar
http://kpai.go.id/publikasi-mainmenu-33/artikel/258-tawuran-pelajar-memprihatinkan-dunia-pendidikan.html

Sabtu, 20 Oktober 2012

Kejujuran auditor dalam penggelapan pajak (BI 10-10-12)



Kepala KPPP Wonosari Raih Doktor Usai Teliti Penggelapan Pajak Transaksi Properti
Kecurangan pajak merupakan permasalahan yang seringkali dijumpai di semua bagian administrasi perpajakan, salah satunya adalah penggelapan pajak. Penggelapan pajak dalam sistim perpajakan suatu negara telah menimbulkan implikasi negatif yang sangat serius dari aspek fiskal maupun keadilan. Sementara, penerapan self assessment pada sistim perpajakan di Indoensia yaitu dengan memberikan kepercayaan yang luas kepada wajib pajak untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri kewajiban wajib pajaknya memungkinkan terjadinya kecurangan pajak dalam bentuk penggelapan pajak.
Demikian disampaikan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama(KPPP) Wonosari Heru Narwanta, SP.I., M.Si., saat melaksanakan ujian terbuka Program Doktor pada Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM, Kamis (5/4) di Auditorium BRI FEB UGM. Dalam kesempatan itu, Heru mempertahankan disertasi berjudul “Penggelapan Pajak Dalam Transaksi Properti: Variasi Tingkat Penggelapan Antar Kelompok Wajib Pajak”.
Dari hasil survey dan analisis yang dilakukan Heru terhadap data laporan pembayaran pajak transaksi properti selama lima tahun di wilayah Jakarta Barat diketahui bahwa penggelapan pajak pada transaksi properti dilakukan dengan cara underreporting basis pajak. Disamping itu penggelapan pajak juga dilakukan melalui kerjasama antar penjual dan pembeli (joint tax evasion). Sebesar 78,4 persen dari 13.421 data laporan pembayaran pajak di Jakarta Barat bagian Barat terindikasi penggelapan pajak. “Besaran penggelapan pajak berkisar 41,3 persen dari basis pajak,” jelas pria kelahiran Gunungkidul, 26 Desember 1969 ini.
Sementara itu temuan lain menunjukkan bahwa secara rata-rata tingkat penggelapan wajib pajak perorangan lebih tinggi dibandingkan dengan wajib pajak perusahaan. Sedangkan dari jenis properti diketahui tingkat penggelapanpajak cenderung lebih tinggi pada transaksi properti residensial dibandingkan komersial. “Tingkat penggelapan pajak pada transaksi properti yang dilakukan oleh wajib pajak yang sering bertransaksi lebih rendah dari pada wajib pajak yang tidak sering melakukan transaksi,” katanya.
Heru menyebutkan kecenderungan penggelapan pajak terjadi karena pelaku mengetahui risiko terungkapnya kasus kecil. Meskipun peluang terdeteksinya tindakan penggelapan relatif sangat rendah, namun tidak semua wajib pajak memanfaatkan kondisi ini. “Dari penelitian ini tercatat sekitar 21,6 persen wajib pajak membayar secara relatif jujur, meskipun tidak sepenuhnya jujur,” pungkasnya. (Humas UGM/Ika)