Kepala KPPP Wonosari Raih Doktor Usai Teliti
Penggelapan Pajak Transaksi Properti
Kecurangan
pajak merupakan permasalahan yang seringkali dijumpai di semua bagian
administrasi perpajakan, salah satunya adalah penggelapan pajak. Penggelapan
pajak dalam sistim perpajakan suatu negara telah menimbulkan implikasi negatif
yang sangat serius dari aspek fiskal maupun keadilan. Sementara, penerapan self
assessment pada sistim perpajakan di Indoensia yaitu dengan memberikan
kepercayaan yang luas kepada wajib pajak untuk menghitung, membayar, dan
melaporkan sendiri kewajiban wajib pajaknya memungkinkan terjadinya kecurangan
pajak dalam bentuk penggelapan pajak.
Demikian
disampaikan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama(KPPP) Wonosari Heru
Narwanta, SP.I., M.Si., saat melaksanakan ujian terbuka Program Doktor pada
Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM, Kamis (5/4) di Auditorium BRI FEB UGM.
Dalam kesempatan itu, Heru mempertahankan disertasi berjudul “Penggelapan Pajak
Dalam Transaksi Properti: Variasi Tingkat Penggelapan Antar Kelompok Wajib
Pajak”.
Dari hasil
survey dan analisis yang dilakukan Heru terhadap data laporan pembayaran pajak
transaksi properti selama lima tahun di wilayah Jakarta Barat diketahui bahwa
penggelapan pajak pada transaksi properti dilakukan dengan cara underreporting
basis pajak. Disamping itu penggelapan pajak juga dilakukan melalui kerjasama
antar penjual dan pembeli (joint tax evasion). Sebesar 78,4 persen dari 13.421
data laporan pembayaran pajak di Jakarta Barat bagian Barat terindikasi
penggelapan pajak. “Besaran penggelapan pajak berkisar 41,3 persen dari basis
pajak,” jelas pria kelahiran Gunungkidul, 26 Desember 1969 ini.
Sementara
itu temuan lain menunjukkan bahwa secara rata-rata tingkat penggelapan wajib
pajak perorangan lebih tinggi dibandingkan dengan wajib pajak perusahaan.
Sedangkan dari jenis properti diketahui tingkat penggelapanpajak cenderung
lebih tinggi pada transaksi properti residensial dibandingkan komersial.
“Tingkat penggelapan pajak pada transaksi properti yang dilakukan oleh wajib
pajak yang sering bertransaksi lebih rendah dari pada wajib pajak yang tidak
sering melakukan transaksi,” katanya.
Heru
menyebutkan kecenderungan penggelapan pajak terjadi karena pelaku mengetahui
risiko terungkapnya kasus kecil. Meskipun peluang terdeteksinya tindakan
penggelapan relatif sangat rendah, namun tidak semua wajib pajak memanfaatkan
kondisi ini. “Dari penelitian ini tercatat sekitar 21,6 persen wajib pajak
membayar secara relatif jujur, meskipun tidak sepenuhnya jujur,” pungkasnya.
(Humas UGM/Ika)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar