Sabtu, 20 Oktober 2012

Kejujuran auditor dalam penggelapan pajak (BI 10-10-12)



Kepala KPPP Wonosari Raih Doktor Usai Teliti Penggelapan Pajak Transaksi Properti
Kecurangan pajak merupakan permasalahan yang seringkali dijumpai di semua bagian administrasi perpajakan, salah satunya adalah penggelapan pajak. Penggelapan pajak dalam sistim perpajakan suatu negara telah menimbulkan implikasi negatif yang sangat serius dari aspek fiskal maupun keadilan. Sementara, penerapan self assessment pada sistim perpajakan di Indoensia yaitu dengan memberikan kepercayaan yang luas kepada wajib pajak untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri kewajiban wajib pajaknya memungkinkan terjadinya kecurangan pajak dalam bentuk penggelapan pajak.
Demikian disampaikan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama(KPPP) Wonosari Heru Narwanta, SP.I., M.Si., saat melaksanakan ujian terbuka Program Doktor pada Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM, Kamis (5/4) di Auditorium BRI FEB UGM. Dalam kesempatan itu, Heru mempertahankan disertasi berjudul “Penggelapan Pajak Dalam Transaksi Properti: Variasi Tingkat Penggelapan Antar Kelompok Wajib Pajak”.
Dari hasil survey dan analisis yang dilakukan Heru terhadap data laporan pembayaran pajak transaksi properti selama lima tahun di wilayah Jakarta Barat diketahui bahwa penggelapan pajak pada transaksi properti dilakukan dengan cara underreporting basis pajak. Disamping itu penggelapan pajak juga dilakukan melalui kerjasama antar penjual dan pembeli (joint tax evasion). Sebesar 78,4 persen dari 13.421 data laporan pembayaran pajak di Jakarta Barat bagian Barat terindikasi penggelapan pajak. “Besaran penggelapan pajak berkisar 41,3 persen dari basis pajak,” jelas pria kelahiran Gunungkidul, 26 Desember 1969 ini.
Sementara itu temuan lain menunjukkan bahwa secara rata-rata tingkat penggelapan wajib pajak perorangan lebih tinggi dibandingkan dengan wajib pajak perusahaan. Sedangkan dari jenis properti diketahui tingkat penggelapanpajak cenderung lebih tinggi pada transaksi properti residensial dibandingkan komersial. “Tingkat penggelapan pajak pada transaksi properti yang dilakukan oleh wajib pajak yang sering bertransaksi lebih rendah dari pada wajib pajak yang tidak sering melakukan transaksi,” katanya.
Heru menyebutkan kecenderungan penggelapan pajak terjadi karena pelaku mengetahui risiko terungkapnya kasus kecil. Meskipun peluang terdeteksinya tindakan penggelapan relatif sangat rendah, namun tidak semua wajib pajak memanfaatkan kondisi ini. “Dari penelitian ini tercatat sekitar 21,6 persen wajib pajak membayar secara relatif jujur, meskipun tidak sepenuhnya jujur,” pungkasnya. (Humas UGM/Ika)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar