Sabtu, 19 Januari 2013

Mobil listrik dari sudut pandang ekonomi


Mobil listrik sepertinya akan muncul menjadi salah satu produk yang paling transformasional di masa kini, sama pentingnya seperti Personal Computer (PC) dan internet. Dampaknya terhadap industri otomotif pada aspek ekonomi secara kesuluruhan dari komersialisasi secara masal dari mobil listrik akan mengubah secara mendasar tidak hanya pada industri otomotif saja, tetapi pada industri perminyakan, pembangkit listrik dan distribusi, baja, material non logam dan kimia. Dengan berkurangnya ketergantungan dunia terhadap minyak bumi, mobil listrik akan mengubah struktur perdagangan global. Dampak penting lainnya, karena mobil listrik memiliki nol emisi, maka akan mengundang perdebatan ulang tentang pemanasan global.
Tidaklah mengherankan ketika para pengamat dan analis berdebat secara bersemangat tentang siapa yang akan memenangkan perlombaan akbar mobil hijau. Hal yang membuat perlombaan menarik khususnya adalah fakta bahwa suatu mobil listrik sepenuhnya akan menjadi produk baru pertama yang besar, dimana mulai dari awal, para kontestan termasuk perusahaan tidak hanya dari negara maju tetapi juga dari negara berkembang. PC, ponsel dan internet ditemukan dan diluncurkan di negara barat. Hanya masalah waktu ketika kemudian perusahaan Asia seperti Lenovo, Bharti Airtel dan Alibaba memasuki pasar tersebut.
Tetapi saat ini, perusahaan Asia ada diantara para pemimpin dalam perlombaan mobil listrik. Perusahaan Cina BYD contohnya menetapkan untuk meluncurkan mobil listrik sepenuhnya model E3 dan E6 di tahun ini dan mengumumkan rencana untuk membawa model E6 ke Amerika di tahun 2010. Mitsubishi Motor Jepang telah meluncurkan mobil listriknya model i MiEV. Carlos Ghosn, bos dari produsen otomotif Jepang lainnya, Nissan, melakukan aliansi dengan Renault, salah satu perintis awal di mobil listrik. Tata Motors India telah mengumumkan bahwa mereka akan memperkenalkan mobil listriknya Indica Vista EV di Norwegia tahun ini.
Dalam memprediksi masa depan dari industri yang akan berkembang ini, adalah penting untuk membatasi secara kritis terhadap dua asumsi yang bisa menyesatkan:
1. Kepemimpinan dalam teknologi baterai akan menjadi penentu utama terhadap siapa yang akan muncul sebagai pemimpin dari pembuat mobil listrik masa depan.
2. Menjadi perusahaan pertama yang meluncurkan mobil listrik akan menghadirkan keunggulan strategik yang penting sebagai perintis.

(Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) RSBI

Sebelum menjadi SBI, sekolah tersebut dapat di anggap sebagai Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang tentunya harus memenuhi beberapa kriteria tertentu.

Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) adalah Sekolah Standar Nasional (SSN) yang menyiapkan peserta didik berdasarkan Standar Nasional Pendidikan (SNP) Indonesia dan bertaraf Internasional sehingga diharapkan lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional.

SMK-SBI adalah sekolah yang menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan dengan instrumental input (perangkat keras dan lunak), proses dan output nya memiliki standar tertentu yang diakui/setara dengan standar internasional, dengan
memperhatikan potensi ungulan daerah. Profil SMK-SBI dilihat dari:
1. SMK itu menyelenggarakan program keahlian yang telah memiliki standar kompetensi internasional.
2. SMK itu memiliki kualifikasi tamatan yang memenuhi beberapa persyaratan yaitu:
a. Minimal 50 % tamatan bersertifikat kompetensi sesuai dengan bidang/program keahlian terserap pada dunia kerja yang relevan. b. Minimal 50 % tamatan memperoleh skor TOEIC minimal 505, atau memperoleh nilai ujian nasional bahasa Inggris > 7,5. c. Minimal 50 % tamatan memperoleh nilai ujian nasional Matematika > 6,0. d. Minimal 60 % tamatan memperoleh nilai ujian nasional bahasa Indonesia > 7,0. e. SMK itu menghasilkan tamatan yang mampu mengisi lapangan kerja/mandiri atau melanjutkan ke pendidikan tinggi dengan rasio 30 : 70.
3. SMK itu menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar pada proses pembelajarannya.
4. SMK bersangkutan menerapkan ISO 9001 : 2000 atau bahkan memiliki sertifikat ISO 9001 : 2000 itu.
5. SMK itu menerapkan prinsip-prinsip akselerasi dalam proses pembelajarannya.
6. Kualifikasi seluruh tenaga pendidik minimal S1 atau D4 di bidangnya dengan memiliki pengalaman industri / mengelola usaha minimal 1 tahun.
7. SMK itu memiliki / mengakses sumberdaya (sarana prasarana) sesuai tuntutan kompetensi yang ingin dicapai.
8. Seluruh tenaga pendidik mempunyai sertifikat kompetensi di bidangnya dan sertifikat pedagogik yang dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi yang berwenang.
9. SMK itu memiliki mitra lembaga pendidikan dan usaha relevan yang bertaraf internasional.
10. Sekolah memiliki Training Production Unit sesuai dengan unggulan daerah pada skala usaha / omzet tertentu.
11. Sekolah mempunyai program pembelajaran yang diakui oleh mitra / lembaga profesi yang relevan dan bertaraf internasional dan keduabelas proses belajar mengajar di sekolah menggunakan sistem ICT.

 LANDASAN HUKUM
Ø

• UU No. 20 Tahun 2003 ps 50
• UUNo. 32 Tahun 2004 : Pemerintahan Pusat dan Daerah
• UU No 33 Tahun 2004 : Kewenangan Pemerintah (Pusat) dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom
• UU No. 25 Tahun 2000 : Program Pembangunan Nasional
• PP NoTahun 2005 : Standar Nasional Pendidikan (SNP) ps 61
• Permendiknas No. 22,23,24 Tahun 2006 : Standar Isi, SKL dan Implementasinya.

 TUJUAN PROGRAM RSBI
Ø

A. Umum
a) Meningkatkan kualitas pendidikan nasional sesuai dengan amanat Tujuan Nasional dalam Pembukaan UUD 1945, pasal 31 UUD 1945, UU No.20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS, PP No.19 tahun 2005 tentang SNP( Standar Nasional Pendidikan), dan UU No.17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional yang menetapkan Tahapan Skala Prioritas Utama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah ke-1 tahun 2005-2009 untuk meningkatkan kualitas dan akses masyarakat terhadap pelayanan pendidikan.
b) Memberi peluang pada sekolah yang berpotensi untuk mencapai kualitas bertaraf nasional dan internasional.
c) Menyiapkan lulusan yang mampu berperan aktif dalam masyarakat global.
B. Khusus
Menyiapkan lulusan yang memiliki kompetensi yang tercantum di dalam Standar Kompetensi Lulusan yang diperkaya dengan standar kompetensi lulusan berciri internasional.
RSBI/SBI adalah sekolah yang berbudaya Indonesia, karena Kurikulumnya ditujukan untuk Pencapaian indikator kinerja kunci minimal sebagai berikut:
1) menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP);
2) menerapkan sistem satuan kredit semester di SMA/SMK/MA/MAK;
3) memenuhi Standar Isi; dan
4) memenuhi Standar Kompetensi Lulusan.

Hingga saat ini, mayoritas sekolah bertaraf internasional masih berstatus rintisan. Dan ketika masih rintisan, sekolah diharapkan dapat berupaya memenuhi Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan mulai merintis untuk mencapai Indikator Kinerja Kunci Tambahan (IKKT), IKKT sesuai dengan kemampuan dan kondisi sekolah. Pencapaian pemenuhan IKKT sangat ditentukan oleh kemampuan kepala sekolah, guru, komite sekolah, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan yang lain.
RSBI bisa disebut SBI Mandiri ketika ia bisa memenuhi Indikator Kinerja Kunci Minimal (IKKM) dan Indikator Kinerja Kunci Minimal (IKKM) dan Indikator Kinerja Kunci Tambahan (IKKT), Ketentuan ini sebagaimana penjelasan Laporan Kebijakan Kemdiknas tahun 2007 tentang Pedoman Penjaminan Mutu Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. RSBI merupakan amanah UU sehingga harus dilakukan dengan baik, supaya di kabupaten/kota memiliki centre of excellent, sekolah berstandar internasional. Sehingga bisa menghemat devisa dan membayar lebih murah daripada sekolah di luar negri.

Pada fase rintisan, ada dua tahap yang perlu dilakukan, yaitu; pertama, tahap pengembangan kemampuan sumber daya manusia, modernisasi manajemen, dan kelembagaan; dan kedua, tahap konsolidasi.

Dalam fase rintisan ini, bentuk pembinaannya antara lain melalui: sosialisasi tentang SBI, peningkatan kemampuan sumber daya manusia sekolah, peningkatan manajemen, peningkatan sarana dan prasarana, serta pemberian bantuan dana blockgrant dalam bentuk sharing dengan pemerintah daerah tingkat provinsi dan kabupaten/kota dalam jangka waktu tertentu. Diharapkan pada saatnya nanti, sekolah mampu secara mandiri untuk menyelenggarakan SBI.

Demikianlah salah satu upaya pemerintah, melalui Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan Nasional, dalam menjawab globalisasi. Melalui Sekolah Bertaraf Internasional, diharapkan akan lahir putera-puteri bangsa Indonesia yang mumpuni, baik dari sisi intelektual, emosional, dan spiritualnya, sehingga bisa turut serta bersaing, dan bisa mempengaruhi arah globalisasi menuju masyarakat dunia yang beradab.
Namun setelah dievakuasi evaluasi yang dilakukan terhadap RSBI yang sudah berjalan enam tahun , ditahun ini ada sekitar tujuh SMK di Indonesia yang semula mengikuti RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional) dieliminasi sementara. Ini karena mereka tidak memenuhi persyaratan sebagai RSBI. Ketujuh SMK tersebut harus berbenah dulu sebelum dimasukkan lagi dalam program RSBI. Sekolah yang statusnya turun tersebut bisa mengikuti program RSBI kembali dari awal.
Proses evaluasi sudah dilakukan sejak tahun kedua sekolah itu menjadi RSBI. Poin-poin yang dinilai, antara lain, adalah kepemimpinan kepala sekolah, proses pembelajaran, dan penggunaan dua bahasa dalam kegiatan belajar-mengajar. Hasil evaluasi terhadap sekolah berstatus RSBI itu menunjukkan, faktor kegagalan paling utama ada pada kepemimpinan kepala sekolah. Hal ini di karenakan banyak sekolah di daerah yang tercampuri urusan politik daerah. Sejumlah kepala sekolah diganti oleh orang-orang yang termasuk tim sukses bupati atau wali kota dalam pemilihan kepala daerah. Jabatan kepala sekolah sebagai balas jasa keberhasilan dalam pemilihan kepala daerah. Untuk mengatasi hal itu, sekarang sudah ada perjanjian antara pemerintah pusat dan daerah. Jika ada kepala sekolah berstatus RSBI yang akan diganti, daerah harus memberi tahu terlebih dahulu. Langkah ini untuk menghindari muatan politik.
Dari hasil evaluasi terhadap SMK berstatus RSBI ternyata masih ada sekolah yang belum menerapkan penggunaan dwibahasa di dalam kegiatan belajar-mengajar. Padahal, penggunaan dwibahasa di sekolah ini yang menjadi faktor utama di RSBI.

Beberapa isu yang muncul akibat dimulainya kebijakan RSBI/SBI adalah sebagai berikut:
1. RSBI semakin mempersempit akses orang-orang miskin untuk bersekolah di sekolah yang berkualitas karena mahalnya biaya pendidikan.
Contohnya di Malang, biaya awal untuk masuk sekolah berstatus Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang kini gencar dibuka oleh SMK negeri rata-rata seharga Rp6 juta-Rp7 juta. Di daerah lain bahkan ada yang mencapai 15 juta.
Ini belum juga biaya perbulan yang dikeluarkan orang tua siswa untuk membayar SPP. Data yang dimiliki Kemendiknas dari sejumlah RBSI, biaya pendidikan tertinggi dan terendah yang dibebankan kepada orangtua untuk sumbangan pembinaan pendidikan(SPP) per bulan tertinggi untuk SMKRp 250 ribu. Untuk sumbangan sukarela tertinggi SMK Rp2,7 juta. Jika memang demikian kondisinya maka akses pemerataan pendidikan yang berkualitas bagi seluruh warga negara yang bermutu dan layanan pendidikan bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi yang telah diamanatkan dalam beberapa pasal dalam UU Sisdiknas yakni pasal 5 ayat 1 dan pasal 11 ayat 1 sulit tercapai. Hal ini terjadi karena yang bisa bersekolah di RSBI hanya golongan mampu karena biayanya mahal.

2. RSBI/SBI menciptakan kastanisasi pendidikan
Pengembangan RSBI/SBI sekarang tanpa disadari menciptakan lebih dari satu sistem pendidikan nasional di tiap Kota atau Kabupaten. Kondisi demikian selayaknya tidak terjadi karena Ayat 3 Pasal 31 UUD 1945 mengamanatkan, ”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional”. ampai saat ini Kemendiknas mendata ada sekitar 1.172 sekolah (SD, SMP, SMA dan SMK) diseluruh Indonesia yang telah berstatus RSBI ataupun SBI. Demi memburu gengsi sekolah-sekolah di Indonesia yang berlomba-lomba memburu status RSBI dan SBI. Kondisi demikian justru menciptakan kastanisasi sekolah menjadi beberapa kasta. Sekolah berlabel RSBI menjadi kasta tertinggi dibanding dengan sekolah yang tanpa label RSBI.

3. Penggunaan Bahasa Asing sebagai Bahasa Pengantar Justru Meciderai Bahasa Nasional kita.
Penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar pendidikan di sekolah melanggar Undang-Undang Dasar 1945. Penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar pendidikan akan mereduksi peran bahasa Indonesia dari dunia keilmuan dan kehidupan masa depan bangsa. Selain itu penggunaan bahasas Inggris sebagai bahasa pengantar juga bertentangan dengan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
Salah satu penyebab terhambatnya pelaksanan kebijakan SMK-RSBI yaitu mengenai tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk bersekolah di sekolah yang menyandang status RSBI tersebut. Tidak salah apabila masyarakat menganggap sekolah RSBI dan SBI adalah sekolah bertarif internasional. “Apakah memang peningkatan kualitas sekolah berbanding lurus dengan biaya mahal yang harus dibayarkan?”. Pertanyaan ini patut dilemparkan pada sekolah-sekolah di Indonesia yang berlomba-lomba memburu status RSBI dan SBI. Rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) diduga menjadi sarang pungutan liar yang dilakukan pihak sekolah dan Dinas Pendidikan di wilayah setempat. Sekolah berstatus RSBI itu kini menjadi sasaran dan rebutan murid baru, sehingga menjadi peluang pihak sekolah dan Dinas Pendidikan melakukan pungutan liar.
Jika memang demikian kondisinya, maka akses pemerataan pendidikan yang berkualitas bagi seluruh warga negara yang bermutu dan layanan pendidikan bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi yang telah diamanatkan dalam beberapa pasal dalam UU Sisdiknas yakni pasal 5 ayat 1 dan pasal 11 ayat 1 sulit tercapai. Hal ini terjadi karena yang bisa bersekolah di RSBI/SBI hanya golongan mampu karena biayanya mahal. Kondisi demikian selayaknya tidak terjadi karena Ayat 3 Pasal 31 UUD 1945 mengamanatkan, ”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional”, sementara pengembangan RSBI/SBI sekarang tanpa disadari menciptakan lebih dari satu sistem pendidikan nasional. Namun sebenarnya masalah ini dapat diatasi apabila ada kerjasama yang baik antara penyelenggara sekolah dan pemerintah serta masyarakat itu sendiri, yakni Dewan Pendidikan meminta DPRD setempat membentuk tim untuk mengawasi penerimaan siswa baru tersebut, terutama di RSBI, karena dana yang dikucurkan pemerintah pusat untuk sekolah tersebut cukup besar. Tim juga harus mengawasi program-program yang dilaksanakan oleh pihak pengelola RSBI mencapai miliaran rupiah, baik dari pusat maupun daerah. Besarnya dana yang dikucurkan pemerintah pusat dan daerah untuk mendukung program RSBI itu semestinya pengelola tidak lagi mengutip dana dari wali murid.
Tidak hanya masalah tarif, kebijakan baru dalam bidang pendidikan harus lebih fokus terhadap pemecahan masalah tersebut, yaitu meningkatkan daya serap siswa dengan meningkatkan kualitas SDM guru. Dia lalu membandingkan pembelajaran menggunakan materi berbahasa Indonesia dengan penggunaaan bahasa asing yang nyatanya lebih sulit untuk dicerna murid. Perhatian guru pun akan bergeser, bukan lagi bagaimana menguasai materi dan memilih metode, tetapi bingung dengan bagaimana menguasai kosa kata bahasa inggris.
Masalah terhadap penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar pendidikan yang akan mereduksi peran bahasa Indonesia dari dunia keilmuan dan kehidupan masa depan bangsa ini dapat diatasi dengan cara penerapan metode bilingual atau dwi bahasa agar bahasa indonesia masih tetap berperan dalam proses belajar mengajar.
Dari hasil penelitian Hywel Coleman, peneliti senior bidang pendidikan keguruan di University of Leeds, Inggris, selama kurun waktu 2009-2010. Hasil penelitian itu menunjukkan Di Korea Selatan, misalnya, Hywel mendapati fakta bahwa 100 persen keberhasilan anak belajar dilakukan melalui bahasa ibunya. Sementara di Thailand, keberhasilan tersebut mencatat angka sampai 50 persen. Indonesia menjadi negera terendah karena hanya mencapai angka 10 persen. Hywel Anak harus melek huruf atau belajar membaca dan menulis melalui bahasa ibunya dulu, baru kemudian betul-betul diperkuat dengan bahasa Inggris.

Dampak Banjir dari Segi Ekonomi


Banjir di Jakarta datang rutin hampir setiap tahun. Tetapi siklus banjir besar datang lima tahunan. Namun saat ini, banjir merupakan musibah terbesar dalam lima tahun terakhir. Dampaknya terhadap penduduk dan kehidupan ekonomi sosial di Jakarta sangat meluas karena banyak sudut wilayah Ibu Kota tersentuh oleh banjir ini.
Kerugian ekonomi yang ditimbulkan banjir kali ini diperkirakan sangat besar karena Jakarta bukan hanya pusat pemerintahan tetapi juga pusat ekonomi, yang bertransaksi dengan seluruh wilayah Indonesia. Dengan kemacetan ekonomi Jakarta, maka dampak ekonominya meluas ke wilayah-wilayah di luar Jakarta.
Kerugian dunia usaha yang ditimbulkan oleh banjir dalam waktu satu minggu ada yang memperkirakan mencapai Rp1 triliun. Memang belum ada statistik yang mengukur langsung secara tepat jumlah kerugian ekonomi, yang diderita oleh warga Jakarta. Tetapi dampak kerugian memang sangat meluas, seperti kegiatan distribusi barang, kegiatan penerbangan di bandara, dan lainnya.
Selain itu, banjir juga telah menyebabkan harga barang-barang kebutuhan pokok naik karena distribusi barang-barang terhambat. Kenaikan harga barang-barang tersebut berkisar 10% hingga 20%.
·         Kerakusan
Fakta ini kemudian memunculkan kritik bahwa biang keladinya adalah kebijakan ekonomi, kebijakan tata ruang, dan banyak kebijakan lainnya yang anti lingkungan hidup, baik di Jakarta atau di luar Jakarta. Strategi pembangunan ekonomi selama ini tidak sama sekali memiliki wajah lingkungan hidup. Kerakusan ekonomi telah menyebabkan kerusakan lingkungan karena pembangunan ekonomi pasar tidak mengindahkan kaidah-kaidah etika lingkungan dan kepentingan sosial, yang luas.
Persaingan pasar berorientasi pada kepentingan modal. Jika tidak ada etika dan moral yang memandunya, maka kepentingan lingkungan hidup dinafikan atau paling maksimal disubordinasikan di bawah otoritas pasar. Karena itu, wajar jika banyak kebijakan menabrak jalur hijau, mengubah serapan air menjadi bangunan, menghilangkan waduk kecil dan kebijakan yang lainnya yang anti lingkungan hidup.
Pasar memang dapat menggerakkan ekonomi, tetapi tidak dapat mengakomodasi moral dan etika. Pembangunan ekonomi Jakarta yang cepat menempatkan pemilik modal dan investor sebagai kesatria utama. Kepentingan sosial dan lingkungan pasti terabaikan jika etika, moral dan regulasi tidak ditegakkan untuk menahan dampak eksternalitas pasar.
Karena tidak ada benteng moral dan regulasi yang baik, maka kejadian banjir di Jakarta hanyalah dampak dari proses tindakan kolektif ekonomi, yang menafikan lingkungan. Banjir hanya akibat dari apa yang dilakukan secara kolektif di Ibu Kota sekarang dan sebelumnya.
·         Kebijakan
Pemerintah perlu mengambil tindakan kebijakan yang cepat untuk mengatasi atau setidaknya mengurangi banjir di Jakarta.
Pertama, momentum banjir ini merupakan kesempatan emas untuk menyelesaikan kanal timur dan kanal-kanal lainnya. Pembangunan kanal penahan banjir mutlak perlu dilakukan dan perlu meniru pemerintah Belanda dalam mengelola drainase air di kota seperti Amsterdam.
Pada masa normal sangat sulit berhadapan protes yang menghalangi pembangunan kanal. Tetapi sekarang pada momentum ini sepuluh juta orang berkepentingan terhadap kanal dibandingkan segelintir orang, yang menghalangi tersebut.
Kedua, banjir di Jakarta mesti diatasi dari hulu juga. Pemerintah pusat sudah mesti memikirkan dan sekaligus mengambil keputusan untuk membangun waduk di Bogor untuk menahan air bah turun ke Jakarta. Tetapi keputusan ini tidak mudah dan perlu keberanian untuk menentukan wilayahnya, sekaligus keberanian untuk mensosialisasikannya kepada masyarakat, terutama yang pasti menentang.
Jika tidak ada ketegasan, maka jangan berharap ada solusi terhadap banjir tahunan dan siklus lima tahunan di Jakarta. Perwujudan pembangunan waduk tersebut juga akan berfungsi ganda untuk irigasi dan listrik. Jika waduk tersebut dapat diwujudkan, maka sudah pasti fungsinya sebagai penahan air akan bekerja. Jika air bah datang setidaknya banyak yang bisa ditahan.
Ketiga, kebijakan jangka menengah panjang lainnya yang penting untuk solusi keruwetan Jakarta adalah memindahkan ibu kota negara Republik Indonesia ke luar Jakarta. Kebijakan ini bertujuan agar beban Ibu Kota menjadi lebih ringan sehingga sebagian beban ekonomi publik pindah ke wilayah lainnya.
Kebijakan ini memerlukan keputusan yang tinggi dengan menetapkan undang-undang. Ini bisa dilakukan oleh DPR dengan pemerintah.


Kamis, 03 Januari 2013

Ayah


aku selalu mengenangmu
dalam sulit yang membisu
tak dapat kurengkuh
semua bayang nampak abu-abu
masih kuingat senyummu
saat kau sapa dengan lembut dan penuh kasih mesra
berkutat diantara jarak yang memisah
begitu jauh tak dapat kurengkuh
namun samar terasa dekat
memelukku erat dalam do'a
aku disini, memegang teguh janji
dan aku akan berusaha sungguh tuk wujudkan mimpi
berpayung do'a kepada ilahi rabbi
tersenyumlah, sandarkanlah jiwa ragamu kepada allah
aku disini tersenyum tegar
dengan do'a dan langkah tekad yang aku jalankan,untukmu
Ayah…