Sebelum menjadi SBI, sekolah tersebut dapat di anggap sebagai
Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang tentunya harus memenuhi
beberapa kriteria tertentu.
Rintisan
Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) adalah Sekolah Standar Nasional (SSN) yang menyiapkan peserta
didik berdasarkan Standar Nasional Pendidikan (SNP) Indonesia dan bertaraf
Internasional sehingga diharapkan lulusannya memiliki kemampuan daya saing
internasional.
SMK-SBI adalah
sekolah yang menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan dengan instrumental
input (perangkat keras dan lunak), proses dan output nya memiliki standar
tertentu yang diakui/setara dengan standar internasional, dengan
memperhatikan potensi ungulan daerah. Profil SMK-SBI dilihat dari:
1. SMK itu menyelenggarakan program keahlian yang telah memiliki standar
kompetensi internasional.
2. SMK itu memiliki kualifikasi tamatan yang memenuhi beberapa persyaratan
yaitu:
a. Minimal 50 % tamatan bersertifikat kompetensi sesuai dengan bidang/program
keahlian terserap pada dunia kerja yang relevan. b. Minimal 50 % tamatan
memperoleh skor TOEIC minimal 505, atau memperoleh nilai ujian nasional bahasa
Inggris > 7,5. c. Minimal 50 % tamatan memperoleh nilai ujian nasional
Matematika > 6,0. d. Minimal 60 % tamatan memperoleh nilai ujian nasional
bahasa Indonesia > 7,0. e. SMK itu menghasilkan tamatan yang mampu mengisi
lapangan kerja/mandiri atau melanjutkan ke pendidikan tinggi dengan rasio 30 :
70.
3. SMK itu menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar pada proses
pembelajarannya.
4. SMK bersangkutan menerapkan ISO 9001 : 2000 atau bahkan memiliki sertifikat
ISO 9001 : 2000 itu.
5. SMK itu menerapkan prinsip-prinsip akselerasi dalam proses pembelajarannya.
6. Kualifikasi seluruh tenaga pendidik minimal S1 atau D4 di bidangnya dengan
memiliki pengalaman industri / mengelola usaha minimal 1 tahun.
7. SMK itu memiliki / mengakses sumberdaya (sarana prasarana) sesuai tuntutan
kompetensi yang ingin dicapai.
8. Seluruh tenaga pendidik mempunyai sertifikat kompetensi di bidangnya dan
sertifikat pedagogik yang dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi yang berwenang.
9. SMK itu memiliki mitra lembaga pendidikan dan usaha relevan yang bertaraf
internasional.
10. Sekolah memiliki Training Production Unit sesuai dengan unggulan daerah
pada skala usaha / omzet tertentu.
11. Sekolah mempunyai program pembelajaran yang diakui oleh mitra / lembaga
profesi yang relevan dan bertaraf internasional dan keduabelas proses belajar
mengajar di sekolah menggunakan sistem ICT.
LANDASAN HUKUMØ
• UU No. 20 Tahun 2003 ps 50
• UUNo. 32 Tahun 2004 : Pemerintahan Pusat dan Daerah
• UU No 33 Tahun 2004 : Kewenangan Pemerintah (Pusat) dan Kewenangan Provinsi
sebagai Daerah Otonom
• UU No. 25 Tahun 2000 : Program Pembangunan Nasional
• PP NoTahun 2005 : Standar Nasional Pendidikan (SNP) ps 61
• Permendiknas No. 22,23,24 Tahun 2006 : Standar Isi, SKL dan Implementasinya.
TUJUAN PROGRAM RSBIØ
A. Umum
a) Meningkatkan
kualitas pendidikan nasional sesuai dengan amanat Tujuan Nasional dalam
Pembukaan UUD 1945, pasal 31 UUD 1945, UU No.20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS,
PP No.19 tahun 2005 tentang SNP( Standar Nasional Pendidikan), dan UU No.17
tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional yang menetapkan
Tahapan Skala Prioritas Utama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah ke-1
tahun 2005-2009 untuk meningkatkan kualitas dan akses masyarakat terhadap
pelayanan pendidikan.
b) Memberi peluang pada sekolah yang berpotensi untuk mencapai kualitas
bertaraf nasional dan internasional.
c) Menyiapkan lulusan yang mampu berperan aktif dalam masyarakat global.
B. Khusus
Menyiapkan lulusan
yang memiliki kompetensi yang tercantum di dalam Standar Kompetensi Lulusan yang
diperkaya dengan standar kompetensi lulusan berciri internasional.
RSBI/SBI adalah sekolah yang berbudaya Indonesia, karena Kurikulumnya ditujukan
untuk Pencapaian indikator kinerja kunci minimal sebagai berikut:
1) menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP);
2) menerapkan sistem satuan kredit semester di SMA/SMK/MA/MAK;
3) memenuhi Standar Isi; dan
4) memenuhi Standar Kompetensi Lulusan.
Hingga saat ini, mayoritas sekolah bertaraf internasional masih berstatus
rintisan. Dan ketika masih rintisan, sekolah diharapkan dapat berupaya memenuhi
Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan mulai merintis untuk mencapai Indikator
Kinerja Kunci Tambahan (IKKT), IKKT sesuai dengan kemampuan dan kondisi
sekolah. Pencapaian pemenuhan IKKT sangat ditentukan oleh kemampuan kepala
sekolah, guru, komite sekolah, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan yang
lain.
RSBI bisa disebut SBI Mandiri ketika ia bisa memenuhi Indikator Kinerja Kunci
Minimal (IKKM) dan Indikator Kinerja Kunci Minimal (IKKM) dan Indikator Kinerja
Kunci Tambahan (IKKT), Ketentuan ini sebagaimana penjelasan Laporan Kebijakan
Kemdiknas tahun 2007 tentang Pedoman Penjaminan Mutu Sekolah/Madrasah Bertaraf
Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. RSBI merupakan amanah
UU sehingga harus dilakukan dengan baik, supaya di kabupaten/kota memiliki
centre of excellent, sekolah berstandar internasional. Sehingga bisa menghemat
devisa dan membayar lebih murah daripada sekolah di luar negri.
Pada fase rintisan, ada dua tahap yang perlu dilakukan, yaitu; pertama, tahap
pengembangan kemampuan sumber daya manusia, modernisasi manajemen, dan
kelembagaan; dan kedua, tahap konsolidasi.
Dalam fase rintisan ini, bentuk pembinaannya antara lain melalui: sosialisasi
tentang SBI, peningkatan kemampuan sumber daya manusia sekolah, peningkatan
manajemen, peningkatan sarana dan prasarana, serta pemberian bantuan dana
blockgrant dalam bentuk sharing dengan pemerintah daerah tingkat provinsi dan
kabupaten/kota dalam jangka waktu tertentu. Diharapkan pada saatnya nanti,
sekolah mampu secara mandiri untuk menyelenggarakan SBI.
Demikianlah salah satu upaya pemerintah, melalui Direktorat Jenderal Manajemen
Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan Nasional, dalam menjawab
globalisasi. Melalui Sekolah Bertaraf Internasional, diharapkan akan lahir
putera-puteri bangsa Indonesia yang mumpuni, baik dari sisi intelektual,
emosional, dan spiritualnya, sehingga bisa turut serta bersaing, dan bisa
mempengaruhi arah globalisasi menuju masyarakat dunia yang beradab.
Namun setelah dievakuasi evaluasi yang dilakukan terhadap RSBI yang sudah
berjalan enam tahun , ditahun ini ada sekitar tujuh SMK di Indonesia yang
semula mengikuti RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional) dieliminasi
sementara. Ini karena mereka tidak memenuhi persyaratan sebagai RSBI. Ketujuh
SMK tersebut harus berbenah dulu sebelum dimasukkan lagi dalam program RSBI.
Sekolah yang statusnya turun tersebut bisa mengikuti program RSBI kembali dari
awal.
Proses evaluasi sudah dilakukan sejak tahun kedua sekolah itu menjadi RSBI.
Poin-poin yang dinilai, antara lain, adalah kepemimpinan kepala sekolah, proses
pembelajaran, dan penggunaan dua bahasa dalam kegiatan belajar-mengajar. Hasil
evaluasi terhadap sekolah berstatus RSBI itu menunjukkan, faktor kegagalan
paling utama ada pada kepemimpinan kepala sekolah. Hal ini di karenakan banyak
sekolah di daerah yang tercampuri urusan politik daerah. Sejumlah kepala
sekolah diganti oleh orang-orang yang termasuk tim sukses bupati atau wali kota
dalam pemilihan kepala daerah. Jabatan kepala sekolah sebagai balas jasa
keberhasilan dalam pemilihan kepala daerah. Untuk mengatasi hal itu, sekarang
sudah ada perjanjian antara pemerintah pusat dan daerah. Jika ada kepala
sekolah berstatus RSBI yang akan diganti, daerah harus memberi tahu terlebih
dahulu. Langkah ini untuk menghindari muatan politik.
Dari hasil evaluasi terhadap SMK berstatus RSBI ternyata masih ada sekolah yang
belum menerapkan penggunaan dwibahasa di dalam kegiatan belajar-mengajar. Padahal,
penggunaan dwibahasa di sekolah ini yang menjadi faktor utama di RSBI.
Beberapa
isu yang muncul akibat dimulainya kebijakan RSBI/SBI adalah sebagai berikut:
1. RSBI semakin mempersempit akses
orang-orang miskin untuk bersekolah di sekolah yang berkualitas karena mahalnya
biaya pendidikan.
Contohnya di Malang, biaya awal untuk masuk sekolah berstatus Rintisan Sekolah
Bertaraf Internasional (RSBI) yang kini gencar dibuka oleh SMK negeri rata-rata
seharga Rp6 juta-Rp7 juta. Di daerah lain bahkan ada yang mencapai 15 juta.
Ini belum juga biaya perbulan yang dikeluarkan orang tua siswa untuk membayar
SPP. Data yang dimiliki Kemendiknas dari sejumlah RBSI, biaya pendidikan
tertinggi dan terendah yang dibebankan kepada orangtua untuk sumbangan
pembinaan pendidikan(SPP) per bulan tertinggi untuk SMKRp 250 ribu. Untuk
sumbangan sukarela tertinggi SMK Rp2,7 juta. Jika memang demikian kondisinya
maka akses pemerataan pendidikan yang berkualitas bagi seluruh warga negara
yang bermutu dan layanan pendidikan bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi
yang telah diamanatkan dalam beberapa pasal dalam UU Sisdiknas yakni pasal 5
ayat 1 dan pasal 11 ayat 1 sulit tercapai. Hal ini terjadi karena yang bisa
bersekolah di RSBI hanya golongan mampu karena biayanya mahal.
2. RSBI/SBI menciptakan kastanisasi
pendidikan
Pengembangan RSBI/SBI sekarang tanpa disadari menciptakan lebih dari satu
sistem pendidikan nasional di tiap Kota atau Kabupaten. Kondisi demikian
selayaknya tidak terjadi karena Ayat 3 Pasal 31 UUD 1945 mengamanatkan,
”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional”.
ampai saat ini Kemendiknas mendata ada sekitar 1.172 sekolah (SD, SMP, SMA dan
SMK) diseluruh Indonesia yang telah berstatus RSBI ataupun SBI. Demi memburu
gengsi sekolah-sekolah di Indonesia yang berlomba-lomba memburu status RSBI dan
SBI. Kondisi demikian justru menciptakan kastanisasi sekolah menjadi beberapa
kasta. Sekolah berlabel RSBI menjadi kasta tertinggi dibanding dengan sekolah
yang tanpa label RSBI.
3. Penggunaan Bahasa Asing sebagai
Bahasa Pengantar Justru Meciderai Bahasa Nasional kita.
Penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar pendidikan di sekolah
melanggar Undang-Undang Dasar 1945. Penggunaan bahasa asing sebagai bahasa
pengantar pendidikan akan mereduksi peran bahasa Indonesia dari dunia keilmuan
dan kehidupan masa depan bangsa. Selain itu penggunaan bahasas Inggris sebagai
bahasa pengantar juga bertentangan dengan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
Salah satu penyebab terhambatnya pelaksanan kebijakan SMK-RSBI yaitu mengenai
tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk bersekolah di sekolah yang
menyandang status RSBI tersebut. Tidak salah apabila masyarakat menganggap
sekolah RSBI dan SBI adalah sekolah bertarif internasional. “Apakah memang
peningkatan kualitas sekolah berbanding lurus dengan biaya mahal yang harus
dibayarkan?”. Pertanyaan ini patut dilemparkan pada sekolah-sekolah di
Indonesia yang berlomba-lomba memburu status RSBI dan SBI. Rintisan sekolah
bertaraf internasional (RSBI) diduga menjadi sarang pungutan liar yang
dilakukan pihak sekolah dan Dinas Pendidikan di wilayah setempat. Sekolah
berstatus RSBI itu kini menjadi sasaran dan rebutan murid baru, sehingga
menjadi peluang pihak sekolah dan Dinas Pendidikan melakukan pungutan liar.
Jika memang demikian kondisinya, maka akses pemerataan pendidikan yang
berkualitas bagi seluruh warga negara yang bermutu dan layanan pendidikan bagi
setiap warga negara tanpa diskriminasi yang telah diamanatkan dalam beberapa
pasal dalam UU Sisdiknas yakni pasal 5 ayat 1 dan pasal 11 ayat 1 sulit
tercapai. Hal ini terjadi karena yang bisa bersekolah di RSBI/SBI hanya
golongan mampu karena biayanya mahal. Kondisi demikian selayaknya tidak terjadi
karena Ayat 3 Pasal 31 UUD 1945 mengamanatkan, ”Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional”, sementara pengembangan RSBI/SBI
sekarang tanpa disadari menciptakan lebih dari satu sistem pendidikan nasional.
Namun sebenarnya masalah ini dapat diatasi apabila ada kerjasama yang baik
antara penyelenggara sekolah dan pemerintah serta masyarakat itu sendiri, yakni
Dewan Pendidikan meminta DPRD setempat membentuk tim untuk mengawasi penerimaan
siswa baru tersebut, terutama di RSBI, karena dana yang dikucurkan pemerintah
pusat untuk sekolah tersebut cukup besar. Tim juga harus mengawasi
program-program yang dilaksanakan oleh pihak pengelola RSBI mencapai miliaran
rupiah, baik dari pusat maupun daerah. Besarnya dana yang dikucurkan pemerintah
pusat dan daerah untuk mendukung program RSBI itu semestinya pengelola tidak
lagi mengutip dana dari wali murid.
Tidak hanya masalah tarif, kebijakan baru dalam bidang pendidikan harus lebih
fokus terhadap pemecahan masalah tersebut, yaitu meningkatkan daya serap siswa
dengan meningkatkan kualitas SDM guru. Dia lalu membandingkan pembelajaran
menggunakan materi berbahasa Indonesia dengan penggunaaan bahasa asing yang
nyatanya lebih sulit untuk dicerna murid. Perhatian guru pun akan bergeser,
bukan lagi bagaimana menguasai materi dan memilih metode, tetapi bingung dengan
bagaimana menguasai kosa kata bahasa inggris.
Masalah terhadap penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar pendidikan
yang akan mereduksi peran bahasa Indonesia dari dunia keilmuan dan kehidupan
masa depan bangsa ini dapat diatasi dengan cara penerapan metode bilingual atau
dwi bahasa agar bahasa indonesia masih tetap berperan dalam proses belajar
mengajar.
Dari hasil penelitian Hywel Coleman, peneliti senior bidang pendidikan keguruan
di University of Leeds, Inggris, selama kurun waktu 2009-2010. Hasil penelitian
itu menunjukkan Di Korea Selatan, misalnya, Hywel mendapati fakta bahwa 100
persen keberhasilan anak belajar dilakukan melalui bahasa ibunya. Sementara di
Thailand, keberhasilan tersebut mencatat angka sampai 50 persen. Indonesia
menjadi negera terendah karena hanya mencapai angka 10 persen. Hywel Anak harus
melek huruf atau belajar membaca dan menulis melalui bahasa ibunya dulu, baru
kemudian betul-betul diperkuat dengan bahasa Inggris.