JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Mantan Menteri Sosial (Mensos)
Bachtiar Chamsyah yang divonis bersalah dalam kasus pengadaan mesin jahit,
pengadaan sapi potong, dan pengadaan kain sarung, akhirnya menghirup udara
bebas. Hal ini menyusul masa tahanannya habis. Sedangkan di sisi lain, putusan
dalam kasus ini juga belum memiliki kekuatan hukum yang tetap (inkracht).
“Putusan pidana penjara selama satu tahun delapan bulan,
sesungguhnya jauh sekali dari tuntutan JPU yang berharap hakim menjatuhkan
hukuman tiga tahun penjara bagi terdakwa dan denda Rp 100 juta. Terdapat
beberapa pengabaian fakta-fakta persidangan yang semestinya memberatkan
Terdakwa tetapi kemudian hakim mengabaikannya. Disisi lain, dakwaan penuntut
umum juga memiliki kelemahan yang penting untuk dicermati,” kata Koordinator
Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Febri Diansyah dalam jumpa pers di
Kantor ICW, Jakarta, Selasa (31/1).
Menurut dia, berdasarkan hasil eksaminasi publik yang
dilakukan tim eksaminator yang terdiri dari berbagai unsur diantaranya
akademisi, praktisi dan aktivisi antikorupsi menemukan beberapa kelemahan dalam
kasus ini.
Kelemahan tersebut, lanjut Febri, antara lain menyangkut dakwaan penuntut umum. JPU menuntut Terdakwa dengan pilihan sanksi yang ringan dibandingkan ancaman hukuman maksimal 20 tahun yang diatur dalam Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31/1999 jo Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP. Dakwaan dan tuntutan JPU menjadi tanda-tanya besar, karena tidak menyertai denda mengganti kerugian negara. “Hal itu jauh dari semangat pemberantasan korupsi yang juga mengupayakan membuat jera pelaku korupsi,” jelasnya.
Ditambahkan, fakta persidangan menyebutkan terdapatnya aliran dana ke Yayasan Cendikia, milik terdakwa, berdasarkan keterangan saksi-saksi. Namun, penuntut umum memilih tidak mengembangkan keterangan saksi tersebut untuk membuktikan bahwa terdakwa turut menikmati hasil korupsi. Akibatnya majelis hakim memutuskan bahwa terdakwa tidak ikut menikmati hasil korupsi;
Kelemahan kedua, yakni putusan hakim. Pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa terdakwa tidak menikmati uang hasil pidana korupsi, sehingga terdakwa harus dibebaskan dari unsur Pasal 18 UU Nomor 31/1999 jo UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi menjadi titik lemah dalam pertimbangan hakim.
Jika memerhatikan putusan, terdapat jumping conclussion dalam pertimbangan hakim yang tiba-tiba membuat kesimpulan bahwa terdakwa tidak menikmati uang hasil korupsi tanpa terlebih dahulu menghubungkan dengan fakta-fakta persidangan terkait aliran uang yang diterima orang-orang termasuk terdakwa.
Jumping conclussion yang mengabaikan bukti-bukti persidangan menyebabkan Terdakwa bebas dari unsur memperkaya diri sendiri sebagaimana diatur dalam pasal 2 jo Pasal 18 UU Nomor 31/1999 jo UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi.
“Fakta-fakta persidangan berupa keterangan saksi khususnya saksi Sularto dan Yusrizal diabaikan oleh majelis hakim, sehingga menyebabkan dakwaan pasal 18 tidak terbukti. Padahal berdasarkan keterangan saksi-saksi Sularto dan Yusrizal Terdakwa turut menikmati uang hasil korupsi,” tutur Febri.
Dengan demikian, imbuh dia, perbuatan Terdakwa yang berdiri sendiri-sendiri jelas-jelas merupakan beberapa kejahatan, menguntungkan yayasan Insan Cendikia, Musfar Azis, Iken Br Nasution, Toni Jaya Laksana, dan lainnya. Menggunakan kesempatan karena jabatan sebagai Mensos. Memerintahkan kepada Pimbapro agar memenangkan pihak tertentu dalam pengadaan mesin jahit bersumber dari APBN 2004, sapi potong 2004, kain sarung 2006-2008. Bertentangan dengan UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara dan Keppres 80/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa. “Hal inilah yang tidak dikejar jaksa,” tandas Febri.
Seperti diberitakan sebelumnya, Bachtiar Chamsyah didakwa melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31/1999 jo UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Dalam kasus yang disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta, ia kemudian terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindakan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya sebagai menteri atau pengguna anggaran (PA).
Dengan kekuasaan dari jabatannya, terdakwa memerintahkan atau mengarahkan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Pimpinan Bagian Proyek (Pimbagpro) untuk memenangkan pihak tertentu. Sehingga merugikan keuangan negara sebesar Rp 33,7 Milyar. Putusan ini kembali diperkuat Oleh Pengadilan Tinggi Tipikor DKI.
Kelemahan tersebut, lanjut Febri, antara lain menyangkut dakwaan penuntut umum. JPU menuntut Terdakwa dengan pilihan sanksi yang ringan dibandingkan ancaman hukuman maksimal 20 tahun yang diatur dalam Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31/1999 jo Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP. Dakwaan dan tuntutan JPU menjadi tanda-tanya besar, karena tidak menyertai denda mengganti kerugian negara. “Hal itu jauh dari semangat pemberantasan korupsi yang juga mengupayakan membuat jera pelaku korupsi,” jelasnya.
Ditambahkan, fakta persidangan menyebutkan terdapatnya aliran dana ke Yayasan Cendikia, milik terdakwa, berdasarkan keterangan saksi-saksi. Namun, penuntut umum memilih tidak mengembangkan keterangan saksi tersebut untuk membuktikan bahwa terdakwa turut menikmati hasil korupsi. Akibatnya majelis hakim memutuskan bahwa terdakwa tidak ikut menikmati hasil korupsi;
Kelemahan kedua, yakni putusan hakim. Pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa terdakwa tidak menikmati uang hasil pidana korupsi, sehingga terdakwa harus dibebaskan dari unsur Pasal 18 UU Nomor 31/1999 jo UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi menjadi titik lemah dalam pertimbangan hakim.
Jika memerhatikan putusan, terdapat jumping conclussion dalam pertimbangan hakim yang tiba-tiba membuat kesimpulan bahwa terdakwa tidak menikmati uang hasil korupsi tanpa terlebih dahulu menghubungkan dengan fakta-fakta persidangan terkait aliran uang yang diterima orang-orang termasuk terdakwa.
Jumping conclussion yang mengabaikan bukti-bukti persidangan menyebabkan Terdakwa bebas dari unsur memperkaya diri sendiri sebagaimana diatur dalam pasal 2 jo Pasal 18 UU Nomor 31/1999 jo UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi.
“Fakta-fakta persidangan berupa keterangan saksi khususnya saksi Sularto dan Yusrizal diabaikan oleh majelis hakim, sehingga menyebabkan dakwaan pasal 18 tidak terbukti. Padahal berdasarkan keterangan saksi-saksi Sularto dan Yusrizal Terdakwa turut menikmati uang hasil korupsi,” tutur Febri.
Dengan demikian, imbuh dia, perbuatan Terdakwa yang berdiri sendiri-sendiri jelas-jelas merupakan beberapa kejahatan, menguntungkan yayasan Insan Cendikia, Musfar Azis, Iken Br Nasution, Toni Jaya Laksana, dan lainnya. Menggunakan kesempatan karena jabatan sebagai Mensos. Memerintahkan kepada Pimbapro agar memenangkan pihak tertentu dalam pengadaan mesin jahit bersumber dari APBN 2004, sapi potong 2004, kain sarung 2006-2008. Bertentangan dengan UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara dan Keppres 80/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa. “Hal inilah yang tidak dikejar jaksa,” tandas Febri.
Seperti diberitakan sebelumnya, Bachtiar Chamsyah didakwa melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31/1999 jo UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Dalam kasus yang disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta, ia kemudian terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindakan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya sebagai menteri atau pengguna anggaran (PA).
Dengan kekuasaan dari jabatannya, terdakwa memerintahkan atau mengarahkan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Pimpinan Bagian Proyek (Pimbagpro) untuk memenangkan pihak tertentu. Sehingga merugikan keuangan negara sebesar Rp 33,7 Milyar. Putusan ini kembali diperkuat Oleh Pengadilan Tinggi Tipikor DKI.
Sumber : http://www.beritahukum.com